Takdir kami dalam sistem sunnah mu ya allah

20 Mei 2009

06 April 2009

Kesetaraan Jender Dalam Ibadah

Oleh: Nofriyaldi

Sesungguhnya Allah telah menciptakan sesuatu dengan sebaik-baik ciptaan. ada yang berpendapat, manusia adalah sebaik-baik ciptaan. ada yang sepakat dengan pendapat ini dan ada yang tidak sepakat. ada pula orang yang mengatakan laki-laki lebih sempurna dari pada wanita. saya pikir ini sangat tidak tepat.

saya pikir yang lebih tepat adalah, secara biologis laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi dan fungsinya masing-masing. Sedangkan Allah memberikan amanah kepada masing-masing berdasarkan kodratnya. antara keduanya harus saling kerja sama, agar tercipta kehidupan lebih baik.

Dalam konteks social, laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat amanah, haq dan kewajiban yang sama dari Allah SWT, baik dalam bergaul, mencari nafkah, menuntut ilmu, memberikan pendidikan, berpolitik, dan dan-lain-lain.

Begitu juga dalam masalah ibadah Mahdhah, Allah telah menetapkan kesamaan kewajiban dalam melaksanakannya. hanya saja berbeda dalam masalah teknisnya. seperti perempuan tidak wajib shalat, puasa dan membaca al-Qur’an apabila haid dan nifas. laki-laki berhak menjadi imam karenan Rasulullah mencontohkannya. sedangkan wanita boleh menjadi imam apabila tidak ada laki-laki yang ikut shalat dengan mereka. demikian yang saya ketahui dari yang saya baca.

Berbeda dengan wanita, tidak ada contoh sekalipun dibolehkan menjadi imam shalat selama laki-laki masih ada yang akan ikut dalam shalat mereka, kecuali amina wadud yang pernah mencontohkannya yang intelektualitas beliau dibesarkan oleh orientalis.

Menurut saya di dunia ini tidak ada yang setara, yang ada adalah saling melengkapi agar tercipta kebersamaan. kalaupun ada isu kesetaraan jender, itu semua lebih kepada mendonkrak semangat wanita untuk terus maju dan ikut bersaing dengan laki-laki dalam mengejar ketertinggalan. baik dalam konteks sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, kesempatan yang sama, politik, kebebasan berpendat, memecahkan masalah bersama, dan lain-lain. hal ini saya pikir dibenarkan dalam Islam.

Selama ini wanita memang termarginalkan oleh laki-laki dari yang demikian, semua itu terjadi lebih kepada budaya yang tidak baik yang mengakar ditengah-tengah masyarakat. dan pemahaman masyarakat terhadap teks agama yang tersalah. hal ini tidak hanya perempuan yang harus pemperbaikinya, tetapi juga laki-laki.

Lain halnya dengan masalah Ketetapan Ibadah mahdhah dalam islam, semuanya sudah sangat jelas, baik secara teknis maupun secara hukum. manusia hanya bisa mengikuti apa yang telah ditetapkan Allah, tidak berhak mengotak atik. sebab kalau sudah diotak-atik, seperti yang dilakukan Amina Wadud, tentu tata cara itu tidak lagi dari Allah, tapi dari amina wadud.

Dalam masalah Ibadah, ada yang bisa berubah hukumnya berdasarkan kebutuhan dan konteks, tetapi hanya ibadah Ghairu mahdhah. tidak Ibadah Mahdhah seperti Shalat berikut dengan teknisnya. karena Rasulullah SAW bersabda, Shalatlah kamu seperti aku Shalat.

Masalah imam dalam shalat tidak ada indikasi pembodohan, merendahkan dan pelecehan terhadap wanita didalamnya. yang ada adalah ketundukan, sama-sama rendah dihadapan sang khaliq, tafakkur, Khusyuk, menyerahkan diri sepenuh hati kepada-Nya.

Dalam shalat tidak ada yang lebih tinggi dihadapan Allah, semuanya sama, termasuk Imam, dia hanya sebatas komando dalam bermunajad kepada Allah.

sekali lagi, Imam Shalat hanya komando dalam merendahkan diri kepada Allah secara fertikal. dia tidak berhak membuat keputusan apapun, kecuali menjalankan ketetapan yang sudah jelas.

Berbeda dengan masalah hak mendapat pendidikan, hah politik, hak bekerja, dan hak-hak yang lainnya dalam kehidupan social, perempuan harus mengejar ketertinggalannya, karena banyak sekali dalam Al-Qur’an perintah itu kita temukan. Begitu juga contoh-contoh perempuan Islam masa lalu yang sukses yang dapat dijadikan motifator untuk terus maju.

Wallahu a’lam

Tulisan ini adalah komentar saya di, http://islamlib.com/id/artikel/dua-amina/.

20 Maret 2009

ISLAM MELARANG PEMAKSAAN

Oleh: Nofriyaldi

Allah telah menciptakan potensi positif dan negtif di setiap diri manusia, dalam bahasa agamanya, Taqwa dan Fujur (asy-syams:7-10). Agar tidak terjerat dalam sifat negatif, manusia dianjurkan untuk menggunakan akal dalam mencapai hidayah Allah, silahkan lihat al-Qur'an surat yunus (10) ayat 99-102:

99. Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
100. Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman."
102. Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali (kejadian-kejadian) yang sama dengan kejadian-kejadian (yang menimpa) orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka. Katakanlah: "Maka tunggulah, sesungguhnya akupun termasuk orang-orang yang menunggu bersama kamu."

Silahkan lihat tafsirannya dalam kitab-kitab tafsir, agar kita tidak tersalah dalam memahami ayat ini.

dalam hadits nabi SAW riwayat abu Daud memang ada perintah untuk memukul anak yang berumur tujuh tahun apabila tidak shalat, tapi memahami hadits itu tidak sesederhana itu, apabila diteliti dengan menggunakan kaedah bahasa arab secara baik dan kamus bahasa arab, memukul disana tidaklah bernada kekerarsan, tapi seperti hentakan telapak kaki seseorang ke atas tanah tatkala berjalan santai. disana lebih kepada memukul dengan kasih sayang yang sangat mendalam demi keselamatan sibuah hati.

begitu juga memukul istri yang disinyalir dalam al-Qur'an. lebih kurang memukul tersebut seperti penjelasan kami diatas. yaitu memukul dengan penuh rasa kasih sayang dan cinta.

Rasulullah memerintahkan kita untuk berda'wah, dan melarang memaksakan kehendak. Da'wah artinya menyeru kepada kebaikan. saya sangat heran melihat saudara-saudara kita yang katanya berda'wah, tetapi dalam da'wahnya tidak jarang mengeluarkan sumpah serapah, padahal dalam islam kita diajarkan berda'wah dengan kasih sayang. dan islam diterima dengan cepat pada massa sahabat dan pada masa khalifah bani umayyah dan bani abbasyah bukan karena kekerasan (baik kekeran kata-kata maupun fisik), tetapi karena kasih sayang dan toleransi yang sangat tinggi. hal ini diakui oleh sarjana barat dan timur.

orang-orang zhalim tidak akan musnah dipermukaan bumi ini, karena potensi itu sengaja diciptakan Allah pada setiap manusia dengan segala rahasianya. ada yang mendapat petunjuk (bagi yang berusaha mencapainya dengan baik) dan ada yang tersesat di lumpur hitam/kesesatan yang sangat nyata. tinggal lagi bagaimana kita orang-orang muslim menyikapih hal demikian dengan bijaksana.

Memahani teks al-Quran dan hadits Nabi SAW tidak bisa dilihat secara teks apa adanya tanpa menggunakan metodologi yang tepat dengan baik dan bahasa arab yang baik. mari kita hati-hati dalam membaca teksnya, agar kita terhindar dari kesan memperkosa ayat-ayat al-Qur'an dan hadits.

semoga setiap ijtihad kita diterangi oleh cahaya petunjuk Allah yang Maha Agung.
Wallahu a'lam....
tulisan ini komentar saya terhadap tulisan saudara kita di, http://fpionline.multiply.com/links/item/37/Benarkah_Hj._IRENA_HANDONO_Penyusup_Dari_Kelompok_Salibis?replies_read=1

07 Maret 2009

Ghazwul-Fikri adalah Rahmat, Bodoh adalah Petaka

Oleh: Nofriyaldi

Sering kita dengar dari ceramah para Ustadz di masjid, sekolah, bahkan universitas, atau opini kebanyakan umat Islam yang sampai hari ini masih saja mudah kita temui, bahwa misionaris baik Yahudi maupun kristiani benar- benar kurang ajar, telah melakukan pelanggaran etika dalam keragaman agama, dan perusak aqidah umat Islam.

Saya melihat opini yang menganggap non muslim begitu licik meruntuhkan sendi2 agama umat Islam sangat sulit diterima secara logis, apalagi kita tidak terlebih dahulu melihat kesalahan umat Islam yang sangat mengabaikan straregi dalam membentengi diri.

Sebenarnya tanpa misionaris (non Muslim), Umat Islam akan menanggalkan sendiri asesoris agamanya yang Haq dengan senang hati, disebabkan kebanyakan Umat Islam kurang menyadari betapa pentingnya pendidikan, terutama pemahaman agama Islam yang merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah (Jalan Hidup Yang ditempuh Rasulullah SAW) dan Ulama tempoe doloe.

Kalaupun ada pesantren yang tersebar di berbagai daerah, kebanyakan dari pesantren tersebut pendidikannya lebih kepada orientasi intelektual " itupun banyak yang gagal melahirkan intelektual Muslim dari rahimnya", sementara moral dan spiritual santri terabaikan begitu saja. Apalagi sekolah-sekolah yang bukan berbasis agama, tentu lebih gagal lagi bagi siswa-siswanya yang juga mengabaikan pentingnya mengenal agama dengan baik.

Kita sudah saatnya berkaca melihat kesalahan sendiri, dan itu saya anggap lebih baik dari pada kita terus menerus menyalahkan orang lain. sementara kita sebenarnya punya kesalahan besar terhadap keberagamaan kita sendiri. Non Muslim punya Haq (diberikan Allah Haq) untuk menjalankan misi mereka, sedangkan umat Islam punya kewajiban mengenal Islam secara kaffah dan berilmu dengan baik agar selamat dunia dan Akhirat.

Apabila non Muslim berhasil menggelincirkan Umat Islam dari agamanya, itu menandakan Umat Islam tersebut dalam keadaan bodoh pemahaman keagamaannya, bukan karena hebatnya non Muslim dalam menjalani misinya. hal ini yang tidak banyak disadari oleh kebanyakan orang-orang Islam.

Wallahu a’lam
Tulisan ini awalnya komentar saya terhadap tulisan sahabat saya Usman, S.HI di blog pribadinya tentang “Ghazwul Fiqri di blog pribadinya lareh-simawa.blogspot.com . Selanjutnya rujuk: http://lareh-simawa.blogspot.com/2008/11/ghazwul-fikri.html
Semoga Allah melindungi kami

ALIRAN SESAT: ANTARA KEBODOHAN UMAT DAN KELEMAHAN ULAMA

Oleh: Nofriyaldi

Maraknya aliran sesat di Indonesia memang telah membuat resah masyarakat Islam pada umumnya. Rasa cemas terus melilit pikiran masyarakat awam sehingga membuat mereka ragu dengan sebuah kebenaran.

Tuntutan tanggung jawab dalam memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi tidak hanya dibebankan kepada ulama dan pemerintah saja, akan tetapi tuntutan bagi setiap pribadi umat Islam harus lebih ditekankan lagi dalam mencari cahaya yang akan menerangi jalan hidup mereka, dengan cara terus mempelajari alQur'an dan Sunnah agar tidak tersesat dalam beragama.

Memang tidak mudah hal ini terealisasi, disinilah tugas setiap ulama dan pemerintah memberikan motifasi dan penyadaran akan pentingnya mencari (Iqra') sebelum mengamalkan agama.

Tidak hanya sampai disitu, Ulama dan pemerintah harus menjadi jalan bagi masyarakat dalam mengatasi krisis intelektual dan spiritual agama yang sudah memenjarakan umat Islam "indonesia" selama ini.

Aliran sesat dari dulu sampai sekarang bahkan sampai kiamat nanti akan tetap hidup ditengah-tengah umat, yang perlu kita lakukan hari ini adalah bagaimana mempersiapkan masyarakat Islam yang siap dalam menghadapi tantangan aqidah yang akan merong-rong keyakinan mereka, disamping mendialokhkan segala pemahaman yang ada untuk dijadikan jalan perdamaian agar umat juga dewasa dalam menghadapi keragaman ideologi.

sebenarnya tidak selamanya aliran sesat menjadi buruk kehadirannya ditengah-tengah umat yang dikenal mayoritas Islam ini. dengan adanya aliran sesat yang dijadikan alternatif lain dalam berkeyakinan oleh sebahagian umat Islam yang awam dengan agamanya seharusnya menjadi jalan koreksi bagi “Ulama” akan ke Ulamaannya.

Bisa jadi terlalu banyak "dosa" (kelemahan) Ulama terhadap umat Islam, sehingga harus dibayar dengan sesatnya masyarkat dalam ber'aqidah. mari kita fikirkan bersama.
Wallahu a'lam......

Tulisan ini adalah komentar terhadap tulisan saudara kami Muhammad Sholihin, yang berjudul ALIRAN SESAT: ANTARA PENYIMPANGAN DAN PROTES. Selanjutnya rujuk http://amrclub.blogspot.com/2007/11/aliran-sesat-antara-penyimpangan-dan.html.

27 Februari 2009

MUI dan Fatwa Pengharaman Rokok

Oleh : Nofriyaldi

Usaha MUI dalam menyikapi rokok, pantas mendapat apresiasi dari seluruh masyarakat. Karena MUI benar-benar telah melakukan tugas-tugas penting-Nya sebagai lembaga MUI.

Fatwa haramnya rokok, saya sependapat perlu dicabut kembali. alasannya bukan persoalan perekonomian rakyat yang akan merugi, atau mengurangi devisa negara. tapi lebih kepada tidak rasionalnya MUI memakaikan kata HARAM terhadap tiga konteks yang MUI maksud.

HARAM artinya apabila dikerjakan dapat dosa, sedangkan apabila ditinggalkan dapat pahala. sangat tidak logis dan tidak tepat dilihat dalam perspektif islam label haram di sandangkan kepada anak-anak yang belum taklif, karena kesalahan yang dilakukan anak-anak jelas itu tanggung jawab orang tua, masyarakat dan lembaga pendidikan, begutu juga pemerintah.

selanjutnya fatwa HARAM untuk orang hamil, sepertinya MUI melihat dampak buruk rokok hanya pada orang hamil, atau janin yang dikandungnya, sedangkan orang yang tidak hamil seolah-olah tidak ada dampak negatif rokok padanya. jelas fatwa MUI sangat tidak masuk akal dan saya melihat MUI terkesan mengada-ada.

Selanjutnya fatwa HARAM merokok ditempat ramai.
disini MUI sangat tidak tepat memakaikan haram merokok. karena dampak merokok tidak hanya pada tempat keramaian, tetapi juga tatkala seseorang merokok dalam keadaan sendiri.

MUI sebenarnya bukan memfatwakan rokok itu haram, tetapi mengHARAMkan merokok pada tiga konteks di atas.

saya pikir MUI untuk fatwa yang satu ini sangat-sangat tidak ilmiah, dan perlu dikaji ulang kembali.
kalau memang MUI menginginkan fatwa ini dalam tiga konteks di atas, lebih tepat “MUI MELARANG KERAS” karena MELARANG KERAS ada dua kemungkinan di dalamnya, 1. Haram dan ke 2. makruh. jadi, masyarakat berhak menekankan salah satu hukum yang mereka anggap lebih tepat terhadap tiga konteks di atas.

Solusi yang kedua, MUI memfatwakan Merokok HARAM baik zat Dan sifatnya. mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya. agar masyarakat tidak ragu apa hukum sebenarnya merokok dalam islam menurut perspektif MUI.

Kesimpulannya, yang menjadi masalah bukan pada tiga konteks yang diharamkan merokok oleh MUI, tapi memakaikan kata HARAM terhadap konteks yang dimaksud.

Wallahu a’lam

Tulisan ini komentar saya terhadap artikel Abd Muqsith Alghazali di situs islamlib.com, tentang tsnggspsnnys terhsdsp fstwa MUI. selanjutnya rujuk: http://islamlib.com/id/komentar/mui-dan-fatwa-pengharaman-merokok/

12 Januari 2009

AYAT-AYAT TENTANG LARANGAN MEMPERSEKUTUKAN ALLAH (SYIRIK)

Oleh: Nofriyaldi

Larangan Mempersekutukan Allah

Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui. Ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.(QS. Al-Baqarah ayat 22)

Dalam surat al-Baqarah ayat 22 di atas, Allah SWT mengingatkan manusia agar merenungkan alam semesta, lalu menghadirkan Allah (zikrullah) dalam kehidupan ini.
Sebagaimana Buya HAMKA menjelaskan dalam tafsirnya, ayat ini menyeru kita agar berfikir dan merenungkan, dan diikuti dengan merasakan. Dari berbagai fenomena alam yang kita saksikan dengan segala keteraturan dan keseimbangan serta ukuran yang sangat rinci, dan begitu jelasnya pertalian langit dengan bumi yang akhirnya manusia mendapat manfaat sangat banyak olehnya sehingga kehidupan menjadi terjamin, semua itu sangat jelas ada yang menciptakannya; itulah Allah SWT. Tidak mungkin ada kekuasaan lain yang dapat membuat aturan dengan begitu tertibnya. Sebagaimana sambungan ayat di atas Allah mengatakan tidak patut kita menyembah kepada Tuhan kecuali hanya kepada Allah SWT.

Kita disuruh menyembah Allah merupakan tauhid Uluhiyah; penyatuan tempat penyembah. Sebab dia yang telah menciptakan kita dan nenek moyang kita; tidak bersekutu dengan yang lain. Dia juga yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan, menjadikan langit sebagai bangunan, dan dia yang menurunkan hujan, sehingga tumbuh berbagai macam tumbuhan untuk rezki, maka ini disebut tauhid rububiyah.

Sebagaimana sudah dijelaskan tafsiran ayat di atas betapa pentingnya merenungkan alam semesta agar dapat melihat kebesaran Allah di dalamnya, sehinnga manusia diharapkan tidak tersesat dalam mencari menyembah Tuhan.

2. Sesunggunhnya Allah Tiada Menyerupai Sesuatu

Pada ayat 116 Allah mengingatkan dan menegaskan kepada manusia sesungguhnya Maha suci Allah dari sangkaan manusia bahwa Allah telah mengambil anak.
ِArtinya: Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. (al-Baqarah ayat 116)

Sebagaimana yang dijelaskan Buya Hamka orang Nasrani mempunyai kepercayaan bahwa Nabi Isa Al-Masih itu anak Allah. Orang Yahudi ada yang mengatakan bahwa Uzair atau Izair imam besar dan nabi yang membangkitkan kembali kerajaan Bani Israil setelah penawaran raja Nebukadnezar, adalah anak Allah. Orang musyrik penyembah berhalah tanah arab ada yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah anak Allah dan perempuan semuanya. Di dalam catatan yang oleh orang Yahudi menyebutnya Taurat dikatakan bahwa Bani Israil itu adalah anak Tuhan.

Dalam surat al-Baqarah ayat 116 diatas Allah dengan jelas membantahnya bahwa maha suci Allah dari segala kekurangan, keserupaan, dan kebutuhan, walau sedikitpun.
Dalam surat al-Ikhlas dengan tegas Allah berfirman:
Artinya: 1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, 4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

3. Sesungguhnya Allah Tidak Ada Tandingannya

Lanjutan surat al-Baqarah ayat 116 diatas Allah tegaskan, Bahkan milik-Nya semata-mata apa yang ada di langit dan di bumi. Semuanya tunduk kepada-Nya. Masih dalam surat al-Baqarah, pada ayat 165 Allah memberikan informasi bahwa ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itumengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).(al-Baqarah ayat 165)

Yang dimaksud (di anggap) tandingan selain Allah dalam ayat di atas adalah berupa berhala, bintang, maupun manusia biasa yang telah tiada, tatau pemimpin-pemimpin mereka. padahal sesembahan tandingan-taningan mereka itu adalah ciptaan Allah juga. Manusia yang dimaksud tidak hanya menyembahnya saja, tetapi mereka mencintainya, taat kepadanya serta bersedia berkorban untuk dia sebagaimana mereka mencintai Allah.
Orang-orang tersebut sangat berbeda sekali dengan orang-orang yang yang beriman.
Orang-orang yang beriman cinta mereka sangat kuat kepada Allah, yakni lebih mantap daripada cinta kaum musyrikin terhadap tuahn-tuhan atau sesembahan mereka. Ini disebabkan karena orang-orang beriman mencintai-Nya tanpa pamrih. Cinta mereka lahir dari bukti-bukti yang mereka yakini serta pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya yang maha indah.

Sungguh berbeda mereka yang beriman dengan yang mempersekutukan Allah. Seandainya para musyirikin atau berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa pada hari kiamat, bahwa semua kekuatan hanyalah kepunyaan Allah dan Allah amat pedih siksa-Nya, niscaya mereka menyesal dan tidak akan mengambil tandingan-tandingan bagi Allah apalagi mencintai tandingan-tandingan itu.

Dalam surat al-Ahzab di jelaskan bahwa siksa bagi orang musyrikin itu adalah Jahannam.

Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.

4. Nabi Allah Adalah Manusia Biasa

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

Dalam surat an-Nisa’ di atas dijelaskan, bahwa Maryam lahir dari keluarga Imran, tujuan utama dari ayat ini adalah mendudukkan pandangan Islam tentang hal ihwal Isa’, yang lahir dari rahim Maryam tanpa disentuh laki-laki sebelumnya. Semua pandangan kalangan Kristen terhadap Nabi Isa’ akan terbantah pada pembahasan berikutnya.

5. Al-Masih bukan Tuhan
ِ
Al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, Kedua-duanya biasa memakan makanan. perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).

Dalam ayat ini malaikat menyampaiakan pesan Allah kepada Maryam tentang putra yang akan dilahirkannya, kata malaikat: “Allah akan mengajarkan kepadnya al-Kitab, yakni tulis baca, hikmah kemapuan memahami dan melaksanakan sesuatu yang benar, sesuai, wajar, dan tepat, juga mengajar Taurat yaitu kitab suci yang pernah diturunkan kepada Musa AS, karena kandungannya menjadi syariat agama nasrani dan mewayuhkan Injil kepadanya serta akan diutus menjadi Rasul khusus kepada Bani Israil.”

Dalam surat an-nisa’ 171 Allah berfirman:

Artinya: Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari Ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara.

Dalam ayat ini dengan tegas Allah mengajak para ahli kitab yang telah melampai batas dalam kepercayaan mereka seperti nasrani mempertuhankan Isa AS dan orang-orang Yahudi yang menuduh Isa AS dan ibunya dengan tuduhan yang amat keji, agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena sesungguhnya Allah adalah semata-mata tuhan Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya. Maha Suci Allah dari mempunyai anak dan segala yang di langit dan di bumi adalah milik-Nya.

Setelah menetapkan dan membatalkan paham trinitas, ayat ini menjelaskan hakikat Nabi Isa dan Ibu beliau, sekaligus membuktikan kemustahilan keduanya menjadi Tuhan atau bagian dari Tuhan.

Al-Masih Putra Maryam hanyalah seorang rasul bukan tuhan., tetapi pesuruh-Nya, sebagaimana pesuruh-pesuruh yang lain, yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, diapun akan berlalu dan mati, sehingga bagaimana dia dianggap Tuhan? Dan ibunya seorang Siddiqah yang benar dalam niat, ucapan dan perilakunya, serta seorang yang sangat membenarkan dan mempercayai ayat-ayat Allah. Kendati demikian dia dan anaknya tidak wajar dipertuhankan karena, kedua-duanya senantiasa memakan makanan, yakni kedua-duanya membutuhkan makanan, dan yang butuh kepada sesuatu pastilah bukan Tuhan.

Demikian Quraish Shihab menjelaskan tentang Al-Masih yang terdapat dalam ayat di atas. Disini Allah seakan-akan mengundang manusia yang berakal melihat Nabinya secara rasional dan ilmiah, bukan dengan hawa nafsu.

Seorang pemuka gereja yang kharismatik dari aleksandria yang bernama Arius, sekitar abat ke 3 M melemparkan sebuah tantangan yang oleh uskupnya, aleksander, tidak mungkin diabaikan, tetapi akan lebih sulit lagi dijawab: bagaimana mungkin yesus kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan Tuhan Bapa?. Dalam hal ini Arius bermaksud menekankan perbedaan esensial antara Tuhan yang unik dengan semua makhluk ciptaannya. Seperti tertulis dalam suratnya kepada uskup Aleksander, Tuhan adalah “Satu-satunya yang tidak memperanakkan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satu-satunya yang kuasa”. Arius menguasai isi kitab suci dengan baik dan dia mempersenjatai argumennya dengan teks-teks kitab suci untuk mendukung klemnya bahwa Kristus san Firman tak lain adalah makhluk seperti kita semua.

Sebuah kenyataan yang tidak boleh diabaikan dikalangan Kristen, walaupun mereka “beriman” kepada Nabi Isa sebagaimana kebanyakan mereka memahaminya, jelas ketika akal fikiran yang jernih, mereka hadapkan kepada kepercayaan mereka, akan menimbulkan keraguan besar.

Setelah membatalkan ketuhanan Isa’ dan maryam dari aspek kemakhlukan mereka, pada ayat 76 membatalkan hal serupa dari segi potensi. Sebagaimana firmannya:
Artinya: Katakanlah(Hai Muhammad): "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" dan Allah-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(al-Maidah ayat 76)

Dalam ayat ini tidak hanya mengancam penyembah nabi Isa saja, tetapi mengancam penyembahan apapun dan siapapun selain Allah Swt. Hal ini dipahami dari kata Ma La Yamlik / sesuatu yang tidak dapat, biasanya digunakan untuk sesuatu yang tidak berakal.

6. Hanya Allah lah Tuhan Yang Wajib Disembah

Setelah menjelaskan beberapa bentuk penyembahan kepada selain Allah di atas, pada surat al-An’am disebutkan Tuhan yang pantas dijadikan sesembahan.

Sebagaimana terdapat pada ayat 14:

Artinya: Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, Padahal Dia memberi Makan dan tidak memberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik."

Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya, yang memberi makan siapapun yang membutuhkan makanan dan apapun jenis makanan, dan Dia tidak diberi makan, yakni tidak membutuhkan makanan. Apakah mungkin menjadikan pelndung selain dia?

Sebagaimana juga firman Allah dalam surat al-An’am ayat 101:

ِArtinya: Dia Pencipta langit dan bumi. bagaimana Dia mempunyai anak Padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.

Pada hakikatnya, yang dikemukakan dalam ayat diatas sangat jelas,maka ayat diatas berlanjut dengan pertanyaan yang bernada keheranan: Bagaimana dan dari sudut pandang apa yang dapat membenarkan Dia mempunyai anak, padahal dia tidak mempunyai istri, walaupun anak itu dapat lahir tanpa ayah. Dan anak pasti memiliki keserupaan dengan ayah, padahal tidak akan keserupaan antara Allah dengan selainnya karena dia pencipta dan dia menciptakan segala sesuatu dank arena itu pula dia tidak perlu melahirkan, apalagi anak dibutuhkan untuk melanjutkan keturunan atau membantu ibu bapak dikala tua, dan itu semua tidak dibutuhkan Tuhan. Selanjutnya karena kekuasaan tidak sempurna tanpa pengetahuan, maka dalam ayat di atas lebih jauh menegaskan bahwa disamping dia mencipta, dia mengetahui segala sesuatu sehingga dengan demikian dia pasti Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam surat al-An’am ayat 150 Allah menjelaskan:
ِ
Artinya: Katakanlah: "Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini" jika mereka mempersaksikan, Maka janganlah kamu ikut pula menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka.

Dalam ayat ini Allah melarang menyaksikan bersama mereka, maksudnya adalah buktikan kebohongan mereka, dan tampik dalih-dalih mereka. demikian Quraish Shihab menjelaskannya, karena yang membenarkan seseorang, sama dengan menyetujui dan mengikuti pendapatnya.

Bukankah sangat tercela kalau ada yang bermaksud apalagi kalau hadir memenuhi panggilan untuk membuktikan kebenaran mempersekutukan Allah atau mengharamkan apa yang dilarangnya.

Ayat di atas ditutup dengan menyebutkan tiga sifat buruk orang-orang musyrikin.

Pertama: mendustakan agama, kedua: tidak beriman kepada kehidupan akhirat, dan yang ke Tiga : mempersekutukan Allah. Setiap sifat tersebut digabungkan dengan kata “dan”. Kata ini berfungsi menunjukkan kemantapan sifat-sifat buruk itu kepada diri mereka.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim, Depag

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz I & Juz III

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 1, 2, 3, & 4. Jakarta: lentera Hati, 2002

Karen Amnstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Di Lakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun. Terj. Zaimul Am. Judul Asli: A Histori of Good: The 4000- Year Quest of Judaism, Cristianity, and Islam. Mizan, 2006

31 Desember 2008

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH
Penulis: Syafrijal, S.Th.I
Editing : Nofriyaldi

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan. Sementara sebagian yang lain berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga dapat dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak dapat dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang dapat di bedakan. Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya secara tegas dan jelas telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
B. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))
Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).

Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.
3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)


4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.

C. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik
4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu. Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendiri, dengan perbedaan duapuluh tujuh derajat.
Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah swt. sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:
ما تشا ورقوم قط الا هدو الارشد امرهم
“Tidak satu kaum pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “aku belum pernah melihat seseorang melakukan musyawarah selain Nabi saw.”
فإذا عزمت فتوكل على الله
Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah. Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah swt. untuk bisa mencapainya, seperti telah disebutkan didalam suatu hadist:
إعقلها وتوكل
“Pikirkanlahlah masak-masak, kemudian bertawakkallah (kepada Allah dalam melaksanakannya).”

Didalam hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabilah syarat-syaratnya telah terpenuhi. Dan diantaranya melalui musyawarah.
Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah ditekadkan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan atau panglima perang.
Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat pendapat pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka talah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Jadi tidak boleh diralat lagi.
Dengan demikian, berarti Nabi saw mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbata. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah selesai, tingallah tahap pengamalannya. Seorang panglima (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.
Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa yang harus dilakukan ketika bermusyawarah yaitu:
1. Sikap lemah lembut
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musywarah akan bertebaran pergi.
لو كنت فظا غليظ القلب لانفضو من حولك
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
2. Memberi dan membuka lembaran baru bagi anggota musyawarah.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
Berbagai masalah yang dibahas oleh para ulama mengenai musyawarah antara lain:
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan para sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidk keluar menghadapi musuh yang datang dari Mekkah. Sahabat-sahbat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat, mendesak agar kaum Muslim dibawah pimpinan Nabi Saw. “keluar” menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. Menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh sahabat Nabi Saw.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an tentang musyarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. Bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransikan dan menjadi tanggung jawabkan bersama, dibanding dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
ما خا ب من استشا ر ولا ند م من استخا ر
“Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk kepada Allah tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”

2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
kata al-amr pada surat Ali ‘Imran ayat 159 di atas, ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan dengan “persoalan atau urusan tertentu”. Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhum yang terjemahannya adalah urusan mereka.
Kata amr Al-Qur’an ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي (الشورى: ٨٥)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku”. (QS. Al-Isra’: 85)

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam surat Al-Kahf ayat 16:
يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (الكهف: ١٦)
Artinya: Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. Al-Kahf: 16)

Ada juga kata amr yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefenitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 117:
وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (البقرة: ١١٧)

Artinya: Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “jadilah”, maka jadilah ia. (QS. Al-Baqarah: 117)

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Seperti ada hal-hal yang khusus urusan Allah. Firman Allah:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (ال عمران: ١٢٨)
Artinya: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya. (QS. Ali ‘Imran: 128)

Betapapun, dari ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau ‘Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangganya. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat atau keluarganya.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat.
Sedangkan ayat yang lain menyatakan:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Artinya: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka. (QS. Al-Syura: 38)
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendak dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berkut:
يا علي لا تشا ورن جبا نا فإنه يضيف عليك المخرج ولا تشا ورن البخيل فإنه بقصربك عن غا يتك ولاتشا ورن حريصا فإنه يزين لك شرها. واعلم يا علي أن الجبن والبخل والحرص غريزة واحدة يجمعها سوء الظن باالله

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia menyempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuan. Juga tidak dengan yang berambisi, karena ia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Katahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua orang yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Qur’an, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat Islam.
Namun demikian, al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Qur’an hanyalah bahwa islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tetentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa kemasa lain.
Sikap al-Qur’an seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.





PENUTUP

A. Kesimpulan
A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.
Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
A. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)



4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

B. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat. Jadi musyawarah dapat dilakukan dengan siapapun asalkan ia mempunyai akal yang sehat.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV. Toha Putra, 1986
Abi Qasim Jaarullah Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyariy al-Khawarizmiy, Tafsir al-Kasyaf Juz I , Beirut: Daarul Fikri, tt
Bahreisy Salim, dan Bahreisy, Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an al ’Azim Jilid IV, Beirut: Daarul Fikri, tt
Khiyad, Yusuf dan Mur’asliy Nadim, , Lisanul ‘Arabil Mahid, Beirut: Daarul Fikri, tt
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Al-Mahali, 2002
Nasution,Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan; 1992
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati; 2002

19 November 2008

METODOLOGI PENAFSIRAN Al-QUR'AN

Oleh: Nofriyaldi

A. Pengertian Tafsir
Istilah tafsir merujuk kepada al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 33:
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik (Tafsir) penjelasannya.

Pengertian inilah yang dimaksud dalam lisan al-Arab dengan “kasyaf al-maqhaththa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan “tafsir” –tulisan ibn manzhur- adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini pulalah yang di istilahkan oleh para ulama tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin (menjelaskan dan menerangkan).
Sedangkan defenisi tafsir secara istilah adalah menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dan hikmah Allah di dalam mensyari’atkan hukum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuk-petunjuk Allah itu.

B. Metode Tafsir
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan” dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab menterjemahkannya dengan “Thariqat” dan “Manhaj”. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Nashruddin Baidan mengatakan, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni “suatu cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat al-Qur’an yang di turunkan Nya kepada nabi Muhammad SAW.
Dari defenisi di atas dapat kita ambil gambaran bahwa metode tafsir itu berisikan seperangkat tatanan dan aturan yang tidak boleh diabaikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim laksana samudera yang keajaibannya tidak akan pernah sirna ditelan oleh masa, sehingga lahir bermacam-macam tafsir karya terbaik para Mufasir dengan berbagai macam metode yang diterapkannya. Bukti nyata hal ini, dapat kita lihat betapa banyaknya karya-karya para Mufasir terpajang di berbagai pustaka, menunjukkan tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab suci al-Qur’an al-Karim serta menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing Mufasir.

Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah Metode Tahliliy, Metode Ijmaliy, Metode Muqaran, dan Metode Maudhu’iy.

1. Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
Al-Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti urutan ayat-ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf ( Penjelas tentang mushaf Silahkan Rujuk M. M. Al-A’Zami. The History The Qur’anic Text)
Para penafsir tahliliy ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian yang panjang lebar, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Biasanya mufasir mempunyai kecenderungan (corak penafsiran) yang beraneka ragam, seperti:

a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits Rasulullah SAW. Yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran hasil ijtihad para tabi’in.
Diantara kitab-kitab yang memuat tafsir bi al-Ma’tsur adalah
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H)
- Al-Dar al-Mansuri fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya al-Suyuthy (w. 991 H)
- Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Jarir al-Tabary (W. 310 H)

b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
Al-Tafsir bi al-Ra’iy adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah mufasir itu sudah sangat mengerti dengan perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Diantara kitab tafsir “ bi al-Ra’yi” ini adalah
- Mafatih al-Gha’ib, oleh al-fakhr al-Razi (w. 606 H)
- Libabi al-Takwili fi ma’aniy al-Tanzil, karya al-Khazin (w. 741 H)

c. al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasauf)
Al-Tafsir al-Shufi terbagi kepada dua bentuk:
- Tasauf teoritis yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka. penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, dan tafsirannya sering keluar dari arti zahir yang dimaksud syara’ yang didukung oleh kajian bahasa.
Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasauf teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam
- Tasauf Praktis
Yang dimaksud dengan tasauf praktis adalah tasauf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT. Aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak oleh pemimpin suluk, namun dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksud.
Diantara kitab tafsir tasauf praktis ini adalah
- Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya al-Tusturi (w. 383 H)
- Haqaiq al-Tafsir, karya al-Salami (w. 412 H)
- ‘Araisy al-Bayan fi Haqiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H)

d. al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
Al-Tafsir al-Fiqhi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dalam mencari keputusan hukum dari al-Qur’an, dan berusaha menarik kesimpulan hukum Syari’ah berdasarkan ijtihad tersebut.
Diantara kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah
- Ahkam al-Qur’an karya al-Jash-shash (w. 370 H)
- Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-Arabi (w. 543 H)
- Al-Jami’ li-ahkam al-Qur’an karya al-Qurthuby (w. 671 H)

e. al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:

1. Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi (606 H)

2. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang bertentangan dengan Nash dan Syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan. Tentang kitab tafsir mereka al-Zahabiy mengatakan, kami tidak pernah mendengar bahwa diantara para filosof itu ada yang menulis kitab tafsir secara lengkap, semua yang kami temukan tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadap al-Qur’an secara parsial yang termuat di dalam kitab-kitab falsafat secara yang mereka tulis.

f. al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam.
Di antara tafsir yang bercorak al-‘Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al-Ihya’Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Sedangkan al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.
Sedangkan ulama kontemporer yang menaruh minat melakukan kajian al-Tafsir al-Ilmi untuk menyingkap makna ayat-ayat kauniyah diantaranya:
- Muhammad Ahmad al-Ghamawi. Di dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah
- Thantawi Jauhari. Melalui kitabnya yang tebal.
- Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Melalui kitabnya Riyadh al-Mukhtar.
- Hanafi Ahmad. Melalui karyanya al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim

g. Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’I ( bercorak Sosial)
Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’iy adalah tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara:
- mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti.
- Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.
- Pada langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Diantara ulama tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini antara lain:
- Rasyid Ridha (w. 1345 H) melalui Karyanya Tafsir al-Manar.
- Al-Maraghiy (w. 1945 M) melalui karyanya Tafsir al-Maraghiy.
- Al-Syekh Mahmud Syaltut. Melalui karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim
Kelebihan tafsir al-Tahliliy adalah mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Dapat digunakan dalam bentuk ma’tsur dan ra’yi, serta dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir.

Sedangkan kekurangannya adalah melahirkan penafsiran subjektif, masuknya pemikiran isra’iliyat, dan petunjuk al-Qur’an jadi parsial, sehingga seakan-akan al-Qur’an tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.


2. Al-Tafsir al-Ijmaly ( Metode Global)
Al-Tafsir al-Ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Nasruddin Baidan mengatakan, Metode ijmaliy adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Cara penafsiran dengan gaya bahasa yang demikian sangat jelas bagi pendengar dan mudah dipahami.
Kelebihan tafsir ijmaliy adalah praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran isra’iliyat, dan sangat akrab dengan bahasa al-Qur’an. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial, dan tidak ada ruangan untuk analisis yang memadai.
Diantara kitab tafsir yang ditulis menurut metode ini adalah
- Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajid
- Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Ismiyyah

3. Al-Tafsir al-Muqaran ( Metode Komparatif)
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai defenisi metode ini. Sebagaimana yang dijelaskan Nasruddin Baidan, yang dimaksud dengan metode komperatif adalah: a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama. b) membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya tampak bertentangan, c) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dengan menafsirkan al-Qur’an.
Dari defenisi di atas terlihat metode komperatif memiliki cakupan yang sangat luas apabila dibandingkan dengan metode tafsir yang lain.
Kelebihan metode komperatif adalah memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas apabila dibandingkan dengan metode lain, membuka pintu untuk selalu toleran terhadap pendapat orang lain, sangat membantu untuk mengetahui berbagai pendapat tentang sesuatu ayat, untuk Mufasir yang menerapkan metode ini didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.
Sedangkan kekurangannya adalah tafsir yang memakai metode komperatif ini tidak dapat diberikan kepada pemula, kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.

C. Al-Tafsir Maudhu’iy (Metode Tematik)
1. Pengertian
Kata Maudhu’iy berasal dari bahasa arab, yaitu maudhu’, isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a, yang berarti meletakkan, menjadikan, menghina, mendustakan, dan membuat-buat. Sedangkan maudhu’ artinya adalah yang diletakkan, yang ditaruh, yang diantar, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.
Sedang Maudhu’ yang dimaksud dalam bahasan ini adalah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor.
Secara istilah tafsir Maudhu’iy adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, bersama-sama membahas topik/judul sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum.
Orang pertama yang melakukan kajian tafsir dengan menerapkan metode maudhu’iy adalah al-‘alamah al-fakhru al-Razyi.
Tafsir maudhu’iy mempunyai dua macam bentuk kajian, yaitu:
a. Pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b. menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan pada satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.

2. Cara Kerja Metode Tafsir Maudhu’iy
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan di kaji secara maudhu’iy (tematik).
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah.
c. Menyusun ayat-ayat yang dibahas secara berurutan berdasarkan kronologis masa ayat tersebut turun. Disertai pengetahuan Mengenai latar belakang turunnya ayat atau Asbab al-Nuzul.
d. Mengetahui korelasi (Munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing surat yang dibahas.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan Hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan yang khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, menjelaskan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebahagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

3. Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’iy (tematik).
a. Kelebihan
- Menjawab tantangan zaman
- Praktis dan sistematis
- Dinamis
- Membuat pemahaman menjadi utuh
Kelebihan ini dapat dilihat pada pembahasan urgensi metode maudhu’iy ini
b. Kekurangannya
- Memenggal ayat al-Qur’an
- Membatasi pemahaman ayat

Hal ini terjadi disebabkan karena metode maudhu’iy hanya membatasi diri pada pembahasan berdasarkan topik menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya. Sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahsannya.

4. Urgensi Metode Tematik
Tafsir dengan metode Maudhu’iy (tematik) lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan dimuka bumi ini. Artinya metode ini besar sekali manfaatnya bagi kehidupan manusia. Berangkat dari pemikiran demikian, maka kedudukan metode ini menjadi semakin kuat dalam khazanah intelektual Islam.
Terjadinya pemahaman yang parsial dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an , adalah sebagai akibat tidak di kajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam metode tematik hal itu tidak akan terjadi. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, jelaslah bahwa metode tematik tempat yang amat penting dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Untuk mengenal lebih jauh betapa pentingnya keberadaan corak dan metode Tafsir Maudhu’i (Tematik) ini, di samping penjelasan yang telah dikemukakan di atas, berikut akan dikemukakan beberapa faedah dan keistimewaan metode Maudhu’iy (Tematik).

a. Menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik masalah, menjelaskan sebagian ayat dengan ayat yang lainnya. Sehingga tafsir Maudhu’i ini bercorak tafsir bi al-Ma’tsur.

b. Dengan menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an seorang penafsir akan mengetahui adanya keteraturan dan keserasian serta korelasi antar ayat-ayat tersebut. karenanya penafsir akan menjelaskan makna-makna dan petunjuk al-Qur’an tersebut serta mengemukakan kelugasan dan keindahan bahasanya.

c. Dengan menghimpun seluruh atau sebagian ayat, seorang penafsir dapat memberikan buah pikiran yang sempurna dan utuh mengenai satu topik masalah yang sedang ia bahas, dimana ia telah menyelidiki semua masalah yang terdapat di dalam ayat-ayat dalam satu waktu, kemudian dia menarik salah satu pokok masalah yang betul-betul telah dia kuasai sepenuhnya.

d. Dengan menghimpun ayat-ayat dan meletakkannya di bawah satu tema bahasan, seorang penafsir dapat menghapus anggapan adanya kontradiksi antara ayat-ayat al-Quran, dan mampu menolak berbagai tuduhan negatif yang disebarluaskan oleh pihak yang berniat jelek. Begitu juga penafsir akan mampu membantah tuduhan sebagian orang bahwa antara agama dan ilmu terdapat pertentangan, terutama ketika seorang penafsir mengemukakan sebagian teori ilmiah yang juga dikemukakan oleh al-Qur’an al-Karim. Sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

e. Corak kajian Tafsir Maudhu’Iy ini sesuai dengan semangat zaman modern yang menuntut agar kita dapat berupaya melahirkan suatu hukum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam. Suatu hukum yang bersumber dari al-Qur’an dalam bentuk materi dan hukum-hukum praktis yang mudah di pahami dan diterapkan.

f. Metode tafsir maudhu’Iy memungkinkan seseorang untuk mengetahui inti masalah dan segala aspeknya, sehingga ia mampu mengemukakan argumen yang kuat, jelas, dan memuaskan. Begitu pula hal ini memungkinkan bagi penafsir untuk mengungkapkan segala rahasia al-Qur’an sehingga hati dan akal manusia tergerak untuk mensucikan Allah dan mengakui segala rahmatNya yang terdapat di dalam ajaran yang ia peruntukkan kepada hamba-hambaNya.

g. Metode ini memungkinkan seseorang segera sampai kepada init persoalan yang dimaksud tanpa susah payah harus mengemukakan pembahasan dan uraian kebahasaan atau fikih dan lain sebagainya, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir tahlily, yang justru akan mempersulit seseorang untuk sampai kepada tujuan yang ingin dicapai.
h. Sebagaimana ungkapan Ahmad al-Sayyid al-Kummy, zaman modern sekarang ini sangat membutuhkan corak dan metode tafsir maudhu’iy. Dengan cara kerja yang sedemikian rupa, metode ini memungkinkan seseorang memahami masalah yang dibahas segera sampai kepada hakikat masalah dengan jalan yang singkat dan cara yang praktis atau mudah.

5. Beberapa Karya Tafsir Maudhu’iy (Tematik)
Diantara kitab tafsir yang ditulis berdasarkan metode Maudhu’iy (Tematik) ini adalah:
- Al-Mar’ah fi al-Qur’an, karya al-Ustadz abbas al-‘Aqad
- Al-Riba fi al-Qur’an, karya abu al-A’la al-Mawdudy
- Al-‘Aqidah fi al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad abu Zahrah
- Al-Uluhiyah wa al-Risalah fi al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad al-Samahi
- Al-Insan fi al-Qur’an al-Karim, karya Ibrahim Mahna
Dan masih banyak lagi karya-karya terbaik para ahli (ulama) Tafsir yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam halaman yang sangat pendek ini.


Referensi:
Prof. Dr. M. M Al-A’Zami, Sejarah Texs Al-Qur’an dari wahyu sampai Kompilasi. Judul Asli: The History of The Qur,anic Text: From Revelation to Compilation A comparative Study with the old and New Testaments. Terj: Sohirin Solihin dkk. Cet. 1—(Jakarta: GEma Insani Press, 2005).

Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur Al-Afriqiy,. Lisan al_Arab, (Beirut; Dar Sadir,1996).

Dr. Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an. Kajian Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip. Cet- I (Jakarta: pustaka pelajar, 2002)

Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’I pada masa kini, cet—I (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)

John M. Echols and Hassan Sadily, Kamus Inggris- Indonesia. Judul Asli: An English—Indonesian Dicnionary. Cet—XXV (Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama, 2003)

Prof. Dr. Abdul Al-hayy al-Farmawiy, metode tafsir maudhu’iy: sebuah pengantar. Judul asli: Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’iy: Dirasah Manhajiah mawdhu’iyah. Penerjemah: Suryan A. Jamrah. Cet. 1.-- (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)

DR. Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, --cet- II (jogjakarta: Putaka Pelajar, 2000)

Prof. DR. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. Cet. X—( Bandung, Mizan, 1995)

Madrasah Harus Tingkatkan Kualitas

Menag: Madrasah Harus Tingkatkan Kualitas
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Maftuh Basyuni mengatakan, madrasah sebagai potret wajah Islam Indonesia, harus terus ditingkatkan kualitasnya apalagi dalam era globalisasi seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi ini.

"Madrasah jika tidak mampu menjawab tantangan bisa kehilangan cita rasa sosial di era kompetisi ini", kata Maftuh saat membuka seminar pendidikan, peluncuran tarbiyah komunikasi serta halal bihalal Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Jakarta, Sabtu.

Hadir Ketua Umumnya, Basri Bermanda, mantan Menko Kesra Azwar Anas, dan mantan Menteri Peranan Wanita Soelasikin Murpratomo.

Dewasa ini, kata Menag, kondisi lembaga pendidikan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka ini masih cukup memprihatinkan. Karena itu harus banyak sekali yang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan, seperti perbaikan infra struktur serta fasilitas maupun sarana informasi dan teknologi.

"Tapi masih ada kendala antara lain keterbatasan dana", ucap Maftuh.

Meski demikian bagi madrasah, menurut Maftuh, dengan keterbatasan dana madrasah akan tetap eksis, karena ada yang Membantu untuk tetap berjalan. "Ada Tuhan Yang Maha Esa", imbuhnya.

Ia juga mengatakan, saat ini lebih dari 90 persen madrasah dikelola oleh pihak swasta. "Madrasah tetap eksis karena dukungan masyarakat serta keikhlasan para pengelolanya", tuturnya.

Menurutnya, mengelola lembaga pendidikan seperti madrasah tidak cukup bermodal idealisme. "Harus ada pemikiran cerdas, perlu ditingkatkan kualitas apalagi di era globalisasi", kata Maftuh.

Karena itu Departemen Agama, sebagai penebus dosa mulai mengucurkan bantuan yang cukup besar bagi lembaga pendidikan keagamaan swasta itu, termasuk jika ada bantuan dari luar negeri akan langsung diserahkan kepada lembaga yang bersangkutan.
(*/pwp16/rdp01)

Referensi: http://indonesiabergerak.antara.co.id

07 November 2008

Cinta Dalam Peralihan Jiwa

Oleh Nofriyaldi

Kerap kali aku hendak menuliskan isi hati yang terdalam pada perasaan ini, apalagi ketika aku teringat pada orang yang tak ada jalan bagi ku untuk melupakan dia. Kecuali aku harus menanggung segala luapan air mata hati yang dingin tak tahu berapa lamanya.

Berat sekali rasanya menanggung rindu bercampur harap dan cemas, kadang dada serasa sesak, air mata pun melimpah bak air mendidih, harapan pun mulai dipertanyakan.

Tak banyak yang dapat aku lakukan, Kecuali mengharap cahaya Tuhan penguasa alam semesta. Penguasa seluruh cinta yang telah membuat aku tenggelam di dalamnya. Yang menentukan kadar embun suci penyejuk jiwa yang haus akan cintanya. Menanti balas tepukan atas cinta yang aku miliki, dari orang yang aku tak mengerti apakah dia tenggelam seperti aku.

Dulu aku ragu dengan perasaan ini, takut kalau-kalau ini mimpi tak berarti. Karena peralihan jiwa kanak-kanak kepada remaja yang sedang mencari jati diri. Tapi…….keraguan memaksa aku mencari jawaban melepas terkaman jiwa berjubah suci.

Ternyata aku terlalu lemah untuk berdiri di atas panah harapan. Aku harus menrima akuan diri yang lemah terhimpit malu, yaitu kesadaran diri di atas cintaku padanya.

Sejati Ku

Oleh: Nofriyaldi

Aku Mengingat Mu Bukan Berusaha Untuk MencintaiMu
Tetapi, Cinta Yang Ku Miliki Telah Memaksa Aku Harus Ingat Pada Mu

29 Oktober 2008

Sadar Ku

oleh: Nofriyaldi

Kupandang hidup, kurasakan dalam hati

Kutimbang dengan akal, kubedah alam semesta

Kulihat kebesaran Tuhan pancarkan kebenaran

Menyelimuti semesta Alam


Kami manusia dalam system sunnah Mu

TakdirMu dalam pilihan kami

KetetapanMu hidup di setiap potensi

Tak ada lagi tempat kembali

Kecuali hanya kepadaMu ya Ilahi