Takdir kami dalam sistem sunnah mu ya allah

31 Desember 2008

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH

PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MUSYAWARAH
Penulis: Syafrijal, S.Th.I
Editing : Nofriyaldi

Islam memandang musyawarah sebagai salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Ini terbukti dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik. Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan. Sementara sebagian yang lain berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga dapat dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak dapat dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang dapat di bedakan. Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya secara tegas dan jelas telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
B. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)

Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط إلا هدوا لأرشد أمرهم ))
Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).

Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.
3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)


4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan. Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.

C. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik
4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu. Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendiri, dengan perbedaan duapuluh tujuh derajat.
Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah swt. sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:
ما تشا ورقوم قط الا هدو الارشد امرهم
“Tidak satu kaum pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “aku belum pernah melihat seseorang melakukan musyawarah selain Nabi saw.”
فإذا عزمت فتوكل على الله
Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah. Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah swt. untuk bisa mencapainya, seperti telah disebutkan didalam suatu hadist:
إعقلها وتوكل
“Pikirkanlahlah masak-masak, kemudian bertawakkallah (kepada Allah dalam melaksanakannya).”

Didalam hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabilah syarat-syaratnya telah terpenuhi. Dan diantaranya melalui musyawarah.
Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah ditekadkan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan atau panglima perang.
Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat pendapat pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka talah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Jadi tidak boleh diralat lagi.
Dengan demikian, berarti Nabi saw mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbata. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah selesai, tingallah tahap pengamalannya. Seorang panglima (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.
Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa yang harus dilakukan ketika bermusyawarah yaitu:
1. Sikap lemah lembut
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musywarah akan bertebaran pergi.
لو كنت فظا غليظ القلب لانفضو من حولك
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
2. Memberi dan membuka lembaran baru bagi anggota musyawarah.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
Berbagai masalah yang dibahas oleh para ulama mengenai musyawarah antara lain:
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan para sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidk keluar menghadapi musuh yang datang dari Mekkah. Sahabat-sahbat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat, mendesak agar kaum Muslim dibawah pimpinan Nabi Saw. “keluar” menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. Menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh sahabat Nabi Saw.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an tentang musyarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. Bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransikan dan menjadi tanggung jawabkan bersama, dibanding dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
ما خا ب من استشا ر ولا ند م من استخا ر
“Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk kepada Allah tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”

2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
kata al-amr pada surat Ali ‘Imran ayat 159 di atas, ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan dengan “persoalan atau urusan tertentu”. Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhum yang terjemahannya adalah urusan mereka.
Kata amr Al-Qur’an ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي (الشورى: ٨٥)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku”. (QS. Al-Isra’: 85)

Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam surat Al-Kahf ayat 16:
يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (الكهف: ١٦)
Artinya: Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. Al-Kahf: 16)

Ada juga kata amr yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefenitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 117:
وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (البقرة: ١١٧)

Artinya: Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “jadilah”, maka jadilah ia. (QS. Al-Baqarah: 117)

Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Seperti ada hal-hal yang khusus urusan Allah. Firman Allah:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (ال عمران: ١٢٨)
Artinya: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya. (QS. Ali ‘Imran: 128)

Betapapun, dari ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga. Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau ‘Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangganya. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat atau keluarganya.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat.
Sedangkan ayat yang lain menyatakan:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Artinya: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka. (QS. Al-Syura: 38)
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendak dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berkut:
يا علي لا تشا ورن جبا نا فإنه يضيف عليك المخرج ولا تشا ورن البخيل فإنه بقصربك عن غا يتك ولاتشا ورن حريصا فإنه يزين لك شرها. واعلم يا علي أن الجبن والبخل والحرص غريزة واحدة يجمعها سوء الظن باالله

Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia menyempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuan. Juga tidak dengan yang berambisi, karena ia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Katahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua orang yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Qur’an, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat Islam.
Namun demikian, al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Qur’an hanyalah bahwa islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tetentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa kemasa lain.
Sikap al-Qur’an seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.





PENUTUP

A. Kesimpulan
A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.
Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
A. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (البقرة: ٢٣٣ )
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (ال عمران: ١٥٩ )
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
3. Surat At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق:٦ )

Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)



4. Surat Al-Syura ayat 38:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (الشورى: ٣٨)
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

B. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu.

D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat. Jadi musyawarah dapat dilakukan dengan siapapun asalkan ia mempunyai akal yang sehat.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV. Toha Putra, 1986
Abi Qasim Jaarullah Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyariy al-Khawarizmiy, Tafsir al-Kasyaf Juz I , Beirut: Daarul Fikri, tt
Bahreisy Salim, dan Bahreisy, Said, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir Jilid II, Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an al ’Azim Jilid IV, Beirut: Daarul Fikri, tt
Khiyad, Yusuf dan Mur’asliy Nadim, , Lisanul ‘Arabil Mahid, Beirut: Daarul Fikri, tt
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Al-Mahali, 2002
Nasution,Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan; 1992
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati; 2002

19 November 2008

METODOLOGI PENAFSIRAN Al-QUR'AN

Oleh: Nofriyaldi

A. Pengertian Tafsir
Istilah tafsir merujuk kepada al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 33:
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (٣٣)
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik (Tafsir) penjelasannya.

Pengertian inilah yang dimaksud dalam lisan al-Arab dengan “kasyaf al-maqhaththa” (membuka sesuatu yang tertutup), dan “tafsir” –tulisan ibn manzhur- adalah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafal. Pengertian ini pulalah yang di istilahkan oleh para ulama tafsir dengan “al-idhah wa al-tabyin (menjelaskan dan menerangkan).
Sedangkan defenisi tafsir secara istilah adalah menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan ajaran-ajaran serta hukum-hukumnya dan hikmah Allah di dalam mensyari’atkan hukum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa, dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuk-petunjuk Allah itu.

B. Metode Tafsir
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti “cara atau jalan” dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab menterjemahkannya dengan “Thariqat” dan “Manhaj”. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Nashruddin Baidan mengatakan, studi tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni “suatu cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat al-Qur’an yang di turunkan Nya kepada nabi Muhammad SAW.
Dari defenisi di atas dapat kita ambil gambaran bahwa metode tafsir itu berisikan seperangkat tatanan dan aturan yang tidak boleh diabaikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an al-Karim laksana samudera yang keajaibannya tidak akan pernah sirna ditelan oleh masa, sehingga lahir bermacam-macam tafsir karya terbaik para Mufasir dengan berbagai macam metode yang diterapkannya. Bukti nyata hal ini, dapat kita lihat betapa banyaknya karya-karya para Mufasir terpajang di berbagai pustaka, menunjukkan tingginya semangat dan besarnya perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab suci al-Qur’an al-Karim serta menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing Mufasir.

Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah Metode Tahliliy, Metode Ijmaliy, Metode Muqaran, dan Metode Maudhu’iy.

1. Al-Tafsir al-Tahlily (metode Analisis)
Al-Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti urutan ayat-ayat sebagai mana yang telah tersusun dalam mushaf ( Penjelas tentang mushaf Silahkan Rujuk M. M. Al-A’Zami. The History The Qur’anic Text)
Para penafsir tahliliy ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian yang panjang lebar, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Biasanya mufasir mempunyai kecenderungan (corak penafsiran) yang beraneka ragam, seperti:

a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits Rasulullah SAW. Yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran hasil ijtihad para tabi’in.
Diantara kitab-kitab yang memuat tafsir bi al-Ma’tsur adalah
- Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Ibn Katsir (w. 774 H)
- Al-Dar al-Mansuri fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya al-Suyuthy (w. 991 H)
- Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Ibn Jarir al-Tabary (W. 310 H)

b. Al-Tafsir bi al-Ra’yi (bercorak Rasional)
Al-Tafsir bi al-Ra’iy adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah mufasir itu sudah sangat mengerti dengan perihal bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Diantara kitab tafsir “ bi al-Ra’yi” ini adalah
- Mafatih al-Gha’ib, oleh al-fakhr al-Razi (w. 606 H)
- Libabi al-Takwili fi ma’aniy al-Tanzil, karya al-Khazin (w. 741 H)

c. al-Tafsir al-Shufi (bercorak Tasauf)
Al-Tafsir al-Shufi terbagi kepada dua bentuk:
- Tasauf teoritis yaitu para penganut aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka. penafsir ini tampak berlebih-lebihan dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, dan tafsirannya sering keluar dari arti zahir yang dimaksud syara’ yang didukung oleh kajian bahasa.
Al-Zahabi mengatakan kitab tafsir yang bercorak tasauf teoritis hanyalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara acak dan parsial yang dinisbatkan kepada Ibn Arabi dan yang terdapat di dalam kedua kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah dan al-Fushush, serta di dalam kitab tafsir yang bercorak beraneka ragam
- Tasauf Praktis
Yang dimaksud dengan tasauf praktis adalah tasauf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah SWT. Aliran ini menamakan tafsir mereka dengan tafsir al-isyari, yaitu menta’wil ayat-ayat, berbeda dengan arti zhahirnya, berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak oleh pemimpin suluk, namun dapat dikompromikan dengan arti zhahir yang dimaksud.
Diantara kitab tafsir tasauf praktis ini adalah
- Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya al-Tusturi (w. 383 H)
- Haqaiq al-Tafsir, karya al-Salami (w. 412 H)
- ‘Araisy al-Bayan fi Haqiq al-Qur’an, karya al-Syairazi (w. 606 H)

d. al-Tafsir al-Fiqhi (bercorak Fikih)
Al-Tafsir al-Fiqhi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad dalam mencari keputusan hukum dari al-Qur’an, dan berusaha menarik kesimpulan hukum Syari’ah berdasarkan ijtihad tersebut.
Diantara kitab tafsir yang bercorak fiqhi ini adalah
- Ahkam al-Qur’an karya al-Jash-shash (w. 370 H)
- Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-Arabi (w. 543 H)
- Al-Jami’ li-ahkam al-Qur’an karya al-Qurthuby (w. 671 H)

e. al-Tafsir al-Falsafi (bercorak Filsafat / Falsafat)
Al-Tafsir al-Falsafi dilihat dari tokoh-tokoh Islam yang mendalami kajian filsafat terbagi kepada dua:

1. Golongan yang menolak filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal berusaha menjauhkan umat dari kajian tersebut. diantara kitab-kitab tafsir yang ditulis berdasarkan corak falsafi ini adalah kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib oleh al-Fakhr al-Razi (606 H)

2. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat, meskipun di dalamnya ditemukan ide-ide yang bertentangan dengan Nash dan Syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha menyingkirkan segala pertentangan. Tentang kitab tafsir mereka al-Zahabiy mengatakan, kami tidak pernah mendengar bahwa diantara para filosof itu ada yang menulis kitab tafsir secara lengkap, semua yang kami temukan tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadap al-Qur’an secara parsial yang termuat di dalam kitab-kitab falsafat secara yang mereka tulis.

f. al-Tafsir al-Ilmi (bercorak Science)
Al-Tafsir al-Ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat kauniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam.
Di antara tafsir yang bercorak al-‘Ilmi ini adalah tafsir Mafatih al-Ghaib karya besar al-Imam al-Fakhr al-Raziy. Imam Al-Ghazaliy melalui kitabnya al-Ihya’Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Sedangkan al-Imam al-Suyuthy, melalui kitabnya al-Itqan.
Sedangkan ulama kontemporer yang menaruh minat melakukan kajian al-Tafsir al-Ilmi untuk menyingkap makna ayat-ayat kauniyah diantaranya:
- Muhammad Ahmad al-Ghamawi. Di dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah
- Thantawi Jauhari. Melalui kitabnya yang tebal.
- Ahmad Mukhtar al-Ghazi. Melalui kitabnya Riyadh al-Mukhtar.
- Hanafi Ahmad. Melalui karyanya al-Tafsir al-‘Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim

g. Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’I ( bercorak Sosial)
Al-Tafsir al-Adab al-Ijtima’iy adalah tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara:
- mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti.
- Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan gaya bahasa yang indah dan menarik.
- Pada langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Diantara ulama tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini antara lain:
- Rasyid Ridha (w. 1345 H) melalui Karyanya Tafsir al-Manar.
- Al-Maraghiy (w. 1945 M) melalui karyanya Tafsir al-Maraghiy.
- Al-Syekh Mahmud Syaltut. Melalui karyanya Tafsir al-Qur’an al-Karim
Kelebihan tafsir al-Tahliliy adalah mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Dapat digunakan dalam bentuk ma’tsur dan ra’yi, serta dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir.

Sedangkan kekurangannya adalah melahirkan penafsiran subjektif, masuknya pemikiran isra’iliyat, dan petunjuk al-Qur’an jadi parsial, sehingga seakan-akan al-Qur’an tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya.


2. Al-Tafsir al-Ijmaly ( Metode Global)
Al-Tafsir al-Ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Nasruddin Baidan mengatakan, Metode ijmaliy adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Cara penafsiran dengan gaya bahasa yang demikian sangat jelas bagi pendengar dan mudah dipahami.
Kelebihan tafsir ijmaliy adalah praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran isra’iliyat, dan sangat akrab dengan bahasa al-Qur’an. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial, dan tidak ada ruangan untuk analisis yang memadai.
Diantara kitab tafsir yang ditulis menurut metode ini adalah
- Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Farid Wajid
- Tafsir al-Wasith, terbitan Majma’ al-Buhuts al-Ismiyyah

3. Al-Tafsir al-Muqaran ( Metode Komparatif)
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai defenisi metode ini. Sebagaimana yang dijelaskan Nasruddin Baidan, yang dimaksud dengan metode komperatif adalah: a) membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama. b) membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya tampak bertentangan, c) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dengan menafsirkan al-Qur’an.
Dari defenisi di atas terlihat metode komperatif memiliki cakupan yang sangat luas apabila dibandingkan dengan metode tafsir yang lain.
Kelebihan metode komperatif adalah memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas apabila dibandingkan dengan metode lain, membuka pintu untuk selalu toleran terhadap pendapat orang lain, sangat membantu untuk mengetahui berbagai pendapat tentang sesuatu ayat, untuk Mufasir yang menerapkan metode ini didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.
Sedangkan kekurangannya adalah tafsir yang memakai metode komperatif ini tidak dapat diberikan kepada pemula, kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.

C. Al-Tafsir Maudhu’iy (Metode Tematik)
1. Pengertian
Kata Maudhu’iy berasal dari bahasa arab, yaitu maudhu’, isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a, yang berarti meletakkan, menjadikan, menghina, mendustakan, dan membuat-buat. Sedangkan maudhu’ artinya adalah yang diletakkan, yang ditaruh, yang diantar, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang didustakan, yang dibuat-buat dan yang dipalsukan.
Sedang Maudhu’ yang dimaksud dalam bahasan ini adalah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor.
Secara istilah tafsir Maudhu’iy adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, bersama-sama membahas topik/judul sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum.
Orang pertama yang melakukan kajian tafsir dengan menerapkan metode maudhu’iy adalah al-‘alamah al-fakhru al-Razyi.
Tafsir maudhu’iy mempunyai dua macam bentuk kajian, yaitu:
a. Pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
b. menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan pada satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhu’iy.

2. Cara Kerja Metode Tafsir Maudhu’iy
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur’an yang akan di kaji secara maudhu’iy (tematik).
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makiyah dan Madaniyah.
c. Menyusun ayat-ayat yang dibahas secara berurutan berdasarkan kronologis masa ayat tersebut turun. Disertai pengetahuan Mengenai latar belakang turunnya ayat atau Asbab al-Nuzul.
d. Mengetahui korelasi (Munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing surat yang dibahas.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan Hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan yang khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, menjelaskan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebahagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.

3. Kelebihan dan kekurangan metode maudhu’iy (tematik).
a. Kelebihan
- Menjawab tantangan zaman
- Praktis dan sistematis
- Dinamis
- Membuat pemahaman menjadi utuh
Kelebihan ini dapat dilihat pada pembahasan urgensi metode maudhu’iy ini
b. Kekurangannya
- Memenggal ayat al-Qur’an
- Membatasi pemahaman ayat

Hal ini terjadi disebabkan karena metode maudhu’iy hanya membatasi diri pada pembahasan berdasarkan topik menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya. Sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahsannya.

4. Urgensi Metode Tematik
Tafsir dengan metode Maudhu’iy (tematik) lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan dimuka bumi ini. Artinya metode ini besar sekali manfaatnya bagi kehidupan manusia. Berangkat dari pemikiran demikian, maka kedudukan metode ini menjadi semakin kuat dalam khazanah intelektual Islam.
Terjadinya pemahaman yang parsial dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an , adalah sebagai akibat tidak di kajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam metode tematik hal itu tidak akan terjadi. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, jelaslah bahwa metode tematik tempat yang amat penting dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Untuk mengenal lebih jauh betapa pentingnya keberadaan corak dan metode Tafsir Maudhu’i (Tematik) ini, di samping penjelasan yang telah dikemukakan di atas, berikut akan dikemukakan beberapa faedah dan keistimewaan metode Maudhu’iy (Tematik).

a. Menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik masalah, menjelaskan sebagian ayat dengan ayat yang lainnya. Sehingga tafsir Maudhu’i ini bercorak tafsir bi al-Ma’tsur.

b. Dengan menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an seorang penafsir akan mengetahui adanya keteraturan dan keserasian serta korelasi antar ayat-ayat tersebut. karenanya penafsir akan menjelaskan makna-makna dan petunjuk al-Qur’an tersebut serta mengemukakan kelugasan dan keindahan bahasanya.

c. Dengan menghimpun seluruh atau sebagian ayat, seorang penafsir dapat memberikan buah pikiran yang sempurna dan utuh mengenai satu topik masalah yang sedang ia bahas, dimana ia telah menyelidiki semua masalah yang terdapat di dalam ayat-ayat dalam satu waktu, kemudian dia menarik salah satu pokok masalah yang betul-betul telah dia kuasai sepenuhnya.

d. Dengan menghimpun ayat-ayat dan meletakkannya di bawah satu tema bahasan, seorang penafsir dapat menghapus anggapan adanya kontradiksi antara ayat-ayat al-Quran, dan mampu menolak berbagai tuduhan negatif yang disebarluaskan oleh pihak yang berniat jelek. Begitu juga penafsir akan mampu membantah tuduhan sebagian orang bahwa antara agama dan ilmu terdapat pertentangan, terutama ketika seorang penafsir mengemukakan sebagian teori ilmiah yang juga dikemukakan oleh al-Qur’an al-Karim. Sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

e. Corak kajian Tafsir Maudhu’Iy ini sesuai dengan semangat zaman modern yang menuntut agar kita dapat berupaya melahirkan suatu hukum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam. Suatu hukum yang bersumber dari al-Qur’an dalam bentuk materi dan hukum-hukum praktis yang mudah di pahami dan diterapkan.

f. Metode tafsir maudhu’Iy memungkinkan seseorang untuk mengetahui inti masalah dan segala aspeknya, sehingga ia mampu mengemukakan argumen yang kuat, jelas, dan memuaskan. Begitu pula hal ini memungkinkan bagi penafsir untuk mengungkapkan segala rahasia al-Qur’an sehingga hati dan akal manusia tergerak untuk mensucikan Allah dan mengakui segala rahmatNya yang terdapat di dalam ajaran yang ia peruntukkan kepada hamba-hambaNya.

g. Metode ini memungkinkan seseorang segera sampai kepada init persoalan yang dimaksud tanpa susah payah harus mengemukakan pembahasan dan uraian kebahasaan atau fikih dan lain sebagainya, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir tahlily, yang justru akan mempersulit seseorang untuk sampai kepada tujuan yang ingin dicapai.
h. Sebagaimana ungkapan Ahmad al-Sayyid al-Kummy, zaman modern sekarang ini sangat membutuhkan corak dan metode tafsir maudhu’iy. Dengan cara kerja yang sedemikian rupa, metode ini memungkinkan seseorang memahami masalah yang dibahas segera sampai kepada hakikat masalah dengan jalan yang singkat dan cara yang praktis atau mudah.

5. Beberapa Karya Tafsir Maudhu’iy (Tematik)
Diantara kitab tafsir yang ditulis berdasarkan metode Maudhu’iy (Tematik) ini adalah:
- Al-Mar’ah fi al-Qur’an, karya al-Ustadz abbas al-‘Aqad
- Al-Riba fi al-Qur’an, karya abu al-A’la al-Mawdudy
- Al-‘Aqidah fi al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad abu Zahrah
- Al-Uluhiyah wa al-Risalah fi al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad al-Samahi
- Al-Insan fi al-Qur’an al-Karim, karya Ibrahim Mahna
Dan masih banyak lagi karya-karya terbaik para ahli (ulama) Tafsir yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam halaman yang sangat pendek ini.


Referensi:
Prof. Dr. M. M Al-A’Zami, Sejarah Texs Al-Qur’an dari wahyu sampai Kompilasi. Judul Asli: The History of The Qur,anic Text: From Revelation to Compilation A comparative Study with the old and New Testaments. Terj: Sohirin Solihin dkk. Cet. 1—(Jakarta: GEma Insani Press, 2005).

Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur Al-Afriqiy,. Lisan al_Arab, (Beirut; Dar Sadir,1996).

Dr. Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an. Kajian Terhadap Ayat-Ayat Yang Beredaksi Mirip. Cet- I (Jakarta: pustaka pelajar, 2002)

Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’I pada masa kini, cet—I (Jakarta: Kalam Mulia, 1990)

John M. Echols and Hassan Sadily, Kamus Inggris- Indonesia. Judul Asli: An English—Indonesian Dicnionary. Cet—XXV (Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama, 2003)

Prof. Dr. Abdul Al-hayy al-Farmawiy, metode tafsir maudhu’iy: sebuah pengantar. Judul asli: Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’iy: Dirasah Manhajiah mawdhu’iyah. Penerjemah: Suryan A. Jamrah. Cet. 1.-- (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)

DR. Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, --cet- II (jogjakarta: Putaka Pelajar, 2000)

Prof. DR. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. Cet. X—( Bandung, Mizan, 1995)

Madrasah Harus Tingkatkan Kualitas

Menag: Madrasah Harus Tingkatkan Kualitas
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama Maftuh Basyuni mengatakan, madrasah sebagai potret wajah Islam Indonesia, harus terus ditingkatkan kualitasnya apalagi dalam era globalisasi seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi ini.

"Madrasah jika tidak mampu menjawab tantangan bisa kehilangan cita rasa sosial di era kompetisi ini", kata Maftuh saat membuka seminar pendidikan, peluncuran tarbiyah komunikasi serta halal bihalal Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Jakarta, Sabtu.

Hadir Ketua Umumnya, Basri Bermanda, mantan Menko Kesra Azwar Anas, dan mantan Menteri Peranan Wanita Soelasikin Murpratomo.

Dewasa ini, kata Menag, kondisi lembaga pendidikan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka ini masih cukup memprihatinkan. Karena itu harus banyak sekali yang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan, seperti perbaikan infra struktur serta fasilitas maupun sarana informasi dan teknologi.

"Tapi masih ada kendala antara lain keterbatasan dana", ucap Maftuh.

Meski demikian bagi madrasah, menurut Maftuh, dengan keterbatasan dana madrasah akan tetap eksis, karena ada yang Membantu untuk tetap berjalan. "Ada Tuhan Yang Maha Esa", imbuhnya.

Ia juga mengatakan, saat ini lebih dari 90 persen madrasah dikelola oleh pihak swasta. "Madrasah tetap eksis karena dukungan masyarakat serta keikhlasan para pengelolanya", tuturnya.

Menurutnya, mengelola lembaga pendidikan seperti madrasah tidak cukup bermodal idealisme. "Harus ada pemikiran cerdas, perlu ditingkatkan kualitas apalagi di era globalisasi", kata Maftuh.

Karena itu Departemen Agama, sebagai penebus dosa mulai mengucurkan bantuan yang cukup besar bagi lembaga pendidikan keagamaan swasta itu, termasuk jika ada bantuan dari luar negeri akan langsung diserahkan kepada lembaga yang bersangkutan.
(*/pwp16/rdp01)

Referensi: http://indonesiabergerak.antara.co.id

07 November 2008

Cinta Dalam Peralihan Jiwa

Oleh Nofriyaldi

Kerap kali aku hendak menuliskan isi hati yang terdalam pada perasaan ini, apalagi ketika aku teringat pada orang yang tak ada jalan bagi ku untuk melupakan dia. Kecuali aku harus menanggung segala luapan air mata hati yang dingin tak tahu berapa lamanya.

Berat sekali rasanya menanggung rindu bercampur harap dan cemas, kadang dada serasa sesak, air mata pun melimpah bak air mendidih, harapan pun mulai dipertanyakan.

Tak banyak yang dapat aku lakukan, Kecuali mengharap cahaya Tuhan penguasa alam semesta. Penguasa seluruh cinta yang telah membuat aku tenggelam di dalamnya. Yang menentukan kadar embun suci penyejuk jiwa yang haus akan cintanya. Menanti balas tepukan atas cinta yang aku miliki, dari orang yang aku tak mengerti apakah dia tenggelam seperti aku.

Dulu aku ragu dengan perasaan ini, takut kalau-kalau ini mimpi tak berarti. Karena peralihan jiwa kanak-kanak kepada remaja yang sedang mencari jati diri. Tapi…….keraguan memaksa aku mencari jawaban melepas terkaman jiwa berjubah suci.

Ternyata aku terlalu lemah untuk berdiri di atas panah harapan. Aku harus menrima akuan diri yang lemah terhimpit malu, yaitu kesadaran diri di atas cintaku padanya.

Sejati Ku

Oleh: Nofriyaldi

Aku Mengingat Mu Bukan Berusaha Untuk MencintaiMu
Tetapi, Cinta Yang Ku Miliki Telah Memaksa Aku Harus Ingat Pada Mu

29 Oktober 2008

Sadar Ku

oleh: Nofriyaldi

Kupandang hidup, kurasakan dalam hati

Kutimbang dengan akal, kubedah alam semesta

Kulihat kebesaran Tuhan pancarkan kebenaran

Menyelimuti semesta Alam


Kami manusia dalam system sunnah Mu

TakdirMu dalam pilihan kami

KetetapanMu hidup di setiap potensi

Tak ada lagi tempat kembali

Kecuali hanya kepadaMu ya Ilahi


21 Oktober 2008

Kebenaran Yang Relatif

Oleh: Noriyaldi

Ada yang harus diperhatikan ketika terjadi perbedaan pendapat:

1. kebenaran manusia terletak di kelemahan manusia itu sendiri
2. kebenaran manusia terletak di kesalahan manusia itu sendiri
3. kebenaran manusia terletak di logika manusia yang sangt terbatas sekali

Adalah kesalah besar ketika manusia merasa paling benar. Di sebabkan rasa puas dengan sangka dan perasaan paling benar yang telah menyelimuti pikiran dan hatinya, akibatnya dia tidak akan mencari kebenaran diatas kebenaran

Sudah saatnya kita, terutama umat islam untuk mampu melihat sesuatu dengan bijaksana dan penuh rasa tanggung jawab dalam menyikapi berbagai perbedaan dalam kehidupan. Terutama persoalan menyangkut perbedaan yang sudah sulit untuk ditoleransi, seperti ahmadiah dan aliran yang senada dengannya.

Meningkatkan pemahaman keagamaan melalui bacaan dan belajar kepada para ahli dibidang keislaman (al-Qur'an dan Sunnah) merupakan salah satu upaya bijaksana dalam melawan perusakan atas apa yang kita anggap sebuah kebenaran, salah besar apabila umat islam melakukan tindakan anarkhis terhadap orang yang tidak disukainya.

Hati2, kita tidak setuju bisa jadi karena otak kita buntu dan bodoh. Sering kita lihat ada yang berjuang demi sebuah kebenaran, tetapi dia tidak mengerti dengan kebenaran yang ia perjuangkan. akhirnya mereka terjebak dalam sebuah kepentingan yang mereka sendiri bisa jadi tidak akan pernah membenarkan apa yang mereka perjuangkan.
Kita hanya berusaha untuk sampai kepada sebuah kebenaran, sedangkan kebenaran pada manusia adalah ketika manusia tidak puas dengan kebenaran yang dia anggap kebenaran hari ini, sehingga dia terus mencari sampai jantungnya tidak dapat berfungsi lagi. Sehingga syahid pun menjemput dia untuk dihadapkan kepada yang maha benar yang dia rindukan selama ini.

Tulisan ini awalnya komentar terhadap tulisan saudara http://famm2007.multiply.com/kebenaran

24 Agustus 2008

Generasi Muda dan Kemerdekaan Bangsa

Oleh: Nofriyaldi

Generasi muda merupakan penentu arah jalannya sebuah bangsa serta baik buruknya bangsa itu sendiri. Perubahan kearah yang positif, kemajuan pemikiran, pencapaian tujuan yang dicita-citakan setiap generasi sebuah bangsa merupakan tanggung jawab penuh yang harus diemban setiap generasi muda. Dibutuhkan perhatian khusus terhadap pemuda dalam menyiapkan sumber daya manusia potensial untuk menjalankan amanah besar bangsa ini.

Kemerdekaan bangsa indonesia dari kebiadaban penjajah tidaklah didapat secara gratis begitu saja, melainkan kerja keras para pemuda tempoe doloe yang kita kenal hari ini dengan pejuang bangsa, baik yang berada di dalam maupun luar negeri.

Dengan semangat cinta tanah air atau nasionalisme yang tinggi mereka telah memaksa para penjajah biadab harus angkat kaki dari tanah katulistiwa yang kaya raya ini. Sudah dikenal baik para ahli sejarah bahwa yang melumpuhkan otak penjajah untuk terus menaungi negeri kaya ini bukan senjata pemusnah masal yang dihadapkan moncongnya ke negeri kelahiran mereka, tetapi kecerdasan yang dimiliki sebagian pemuda bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan lainnya yang nama harum mereka kebanyakan sudah ditelan ketidak mau tahuan anak bangsa ini. Nasionalisme yang terus menggebu disetiap dada pemuda indonesia pada hari itu mampu meledakkan jantung para tentara biadap bersenapan tajam serta pemimpin-pemimpin mereka yang bermental busuk.

Perangpun terjadi dimana-mana, meriam berdentuman menyisiri detak jantung rakyat jelata, peluru tajam berterbangan seperti lebah hijrah di bawah terik matahari yang panas, mencari sasaran menembus daging, mematahkan tulang para pemberontak pembebasan negeri dari keserakahan manusia. Menghancurkan kepala berlilit merah putih hingga benaknya meleleh seperti timah dipanaskan. Darah sucipun menetes menjadi saksi dan mengharumi tanah bangsa ini, Mengalir dari luka-luka tubuh kesateia gagah berani kebanggaan negeri yang cinta dan semangatnya tidak akan mampu dilumpuhkan bom atom hirosima naga saki.

Sudah 63 th negeri ini terlepas dari kebiadaban para penjajah. Tinta emas yang ditorehkan pejuang bangsa menjadi karya besar mereka untuk negeri ini, kebanyakan mereka menggantinya dengan nyawa sendiri, sehingga tidak merasakan bagaimana rasanya hidup ditanah merdeka, menghirup udara pagi dibawah teras rumah ditemani secangkir teh sambil memandangi anak cucu tersayang bermain lucu-lucuan dihadapannya. Mungkin itu lebih baik bagi mereka, karena banyak pejuang bangsa yang masih hidup sampai hari ini merasa dijajah lebih kejam dari penjajah tempo dulu.

Sampai hari ini pejuang yang sudah terlebih dahulu menemui ajalnya tidak pernah terdengar teriakan dari tanah pekuburan mereka terlintas ditelinga pemuda hari ini meminta ganti rugi atas jasa-jasa mereka sedikit pun. Memang jasa-jasanya tidak akan tergantikan oleh siapapun dan dengan apapun.

Mungkin mereka sedang menikmati indahnya pelayanan syurga di bawahnya mengalir sungai-sungai yang tiada banding, atau bidadari sangat cantik sedang memeluk erat tubuh perkasa mereka pelepas letih habis berjuang membebaskan negeri dari keserakahan penjajah, sebagai ganjaran atas jihad yang mereka lakukan selama ini, mungkin juga mereka sedang terpana melihat keMaha Agung-an Tuhan, yang selama ini menjadi motor penggerak sendi-sendi mereka dalam perjuangan.

Atau mereka sedang menangisi dan meratapi kenyataan yang ada. Bukan kesakitan karena tulang dan daging mereka hancur dihantam peluru, atau dijepit tanah pekuburan karena dosa, tetapi karena negeri mereka dikhianati oleh anak cucu negerinya sendiri yang bermental busuk lebih busuk dari penjajah yang mereka perangi selama ini. Itulah para koruptor berbadan manusia, berotak tikus, berhati setan, dan bermental sangat lemah yang sangat memalukan.

Sesekali mereka (pejuang) mungkin melebarkan senyum melihat anak cucu kebanggaan mereka yang telah mewarsi keberanian seperti mereka sedang berusaha mencari solusi memberantas hama bangsa ini, walaupu tidak jarang nasib mereka tidak lebih buruk dari kakeknya (pejuang) yang sudah dulu mati.

Hari ini rakyat indonesia banyak terpenjara dibalik jeruji kebodohan berantai kemiskinan. Itulah nasib rakyat jelata yang terus dipaksa untuk hidup dalam kebimbangan, bagi yang melawan akan disiksa oleh penyakit gila yang menyedikan, mereka tidak hanya dibunuh secara perlahan tetapi mereka sudah mati sebelum nyawa mereka meregang.

Sudah saatnya pemuda hari ini mengerahkan segenap kemampuan berjuang melepas rantai yang membelenggu kemajuan bangsa. Dengan cara meningkatkan sumber daya manusia serta peran kita sebagai generasi muda bangsa indonesia. Dengan semangat nasionalisme yang ruhnya jihad Fiisabilillah mencoba keluar dari penjara kebodohan dan melepas rantai kemiskinan yang selama ini sudah menyiksa bangsa. Mari kita ajarkan kepada HPKI (Himpunan Para Koruptor Indonesia) bagaimana cara malu pada diri sendiri, kepada pahlawan bangsa, kepada negeri ini, terutama sekali kepada Tuhan yang maha kuasa, agar mereka sadar ternyata mereka tidak lebih mulia dari cacing gila di tong sampah.

Orang pintar bukanlah orang yang banyak tau, orang pintar adalah orang yang banyak Iqra’ (membaca / belajar). Sedangkan orang bodoh bukan orang yang sedikit tau, tetapi orang yang sedikit Iqra’ (membaca / belajarnya). Ayat Al-Qur’an pertama turun berbunyi perintah Iqra’..., orang banyak tau bisa jadi karena sudah tua umurnya , sudah banyak pengalamannya (karena tuanya). Begitu juga orang yang sedikit tau boleh jadi karena masih kecil. Seseorang disebut pintar tidak bisa diukur dari banyak atau sedikit pengetahuannya, tetapi seberapa banyak dia mempergunakan waktu untuk Iqra’ (membaca / belajar).

Pemuda bangsa hari ini harus berusaha memilih takdirnya sebagai orang pintar. Kalau tidak, dia hanya mampu seperti burung beo cantik sedang terikat di depan rumah majikan. Mata menerawang kesana kemari melihat dunia yang sangat luas, tetapi tidak punya daya untuk menaklukkan. Satu kelebihannya apabila sang majikan ngomong dia ikut ngomong seperti majikan, perbedaannya dia terlalu tolol untuk mengerti apa yang dia omongi.

Sudah saatnya kita bangkit mengikuti jejak pahlawan bangsa, mencontoh semangat jihadnya, meroboh tembok derita bangsa yang menyesakkan. Merebut kemerdekaan dari jajahan politik, ekonomi, pemikiran budaya bangsa lain. Sudah saatanya juga kita menghukum pengkhianat bangsa seperti orang-orang yang kita sebut HPKI (Himpunan Para Koruptor Indonesia). Wallahu’alam.

18 Agustus 2008

Ayat-Ayat Tentang Perdagangan

Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang menunjang, topang menopang,dan bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermu’amalah untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Kenyataan ini tak dapat dipungkiri yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi, tidak ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan cara memencilkan diri, niscaya kan terkena sangsi berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan, dan malapetaka dalam kehidupan ini[1].

Bentuk-bentuk perdagangan/perniagaan seperti jual beli, tukar menukar [barter], Gaji-menggaji, Sewa-menyewa, Impor ekspor, Upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda[2].

Penjelasan

1. Larangan Makan Harta Dengan Cara Batil

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS. An-Nisa’:29

Batil artinya menurut jalan yang salah[3]. Bentuk-bentuk harta yang batil itu dalam perdagangan adalah, seperti:

  1. Korupsi
  2. Tidak sesuainya mutu barang dagangan dengan harga penjualan yang tinggi, sehingga merugikan sipembeli
  3. Mengurangi mutu barang dengan harga barang yang mutunya bagus.
  4. Dll

Dalam lanjutan ayat “dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri atau jiwa dengan diri atau jiwa, tidak dapat dipisahkan, karna orang yang mencari harta adalah untuk melanjutkan hidupnya didunia ini. Oleh karena itu, selain kemakmuran harta benda hendaklah terdapat kemakmuran atau ketenangan jiwa. Di samping menjauhkan diri dari memakan harta dengan cara batil, janganlah terjadi pembunuhan, tegasnya jangan membunuh karna sesuap nasi[4].

Sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu, karena itulah Allah menyuruh mengatur dalam mencari harta dengan cara baik[5], dan Allah melarang membunuh diri kamu baik orang lain apalagi diri kamu sendiri. Apabila kamu tidak mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan Allah, masyarakatmu akan kacau, rampok merampok, serta kecurangan akan terjadi. Tuhan sayang kepadamu, tuhan tidak senang kamu kacau[6].

2. Orang-Orang Yang Dapat Pancaran Nur Ilahi QS. An-Nur (24):37

”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. QS. An-Nur(24):37

Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu[7].disini dalam konteks tijarah dan buyu’.

Thabatthaba’I berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’I maka iya berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungasn ril yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan guna mencari keuntungan.

Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.

Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah).disaat-saat mereka melakukan jual beli dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat tertentu itu[8].

3. Hukum Riba. Al-Baqarah (2):275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”. Al-Baqarah (2):275

Surat Al-Baqarah 275 adalah surat yang terakhir yang diterima Rasulullah SAW yang berbicara tentang riba yang dimulai oleh ayat 275. umar ibn Khatab berkata, bahwa Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas[9]. Riba menurut bahasa berarti al-Ziyaadadah (bertambah). Roza linda M.Ag dalam bukunya “Fiqh Mu’amalah dan aplikasinya dalam perbankan syari’ah” menyimpulkan bahwa riba merupakan kelebihan/Tambahan pembayaran tanpa ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad[10].

Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syatan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya.

Menurut banyak ulama hukuman ini terjadi dikemudian hari, yakni mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah mana yang harus mereka tuju.

Sebenarnya _kata Quraish Shihab­_ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Orang tersebut_yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun tidak tahu arah[11].

4. Kesaksian dalam Mu’amalah QS. Al-Baqarah(2): 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282

Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang mengumpulkan nya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya[12].

  1. Perintah menulis

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283[13].

Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adal, artinya tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3. Jujur[14].

b. Saksi

Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut[15].

Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban[16]. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup,dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu[17].

  1. Gada

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Al-Baqarah(2): 283

Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai

Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa mengambilsebagian( manfaat) barangnya itu[18].

Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang[19].

4. Al-Taubah (9) 24: Larangan Mencintai Harta Melebihi Dari Pada Mencintai Allh Dan Rasulnya

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Qs. Al-Taubah (9): 24)

Ayat ini bukan berarti melarang mencintai harta benda karna ini bertentangan dengan naluri manusia sebagaimana yang telah dijelaskan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an antara lain, Qs. Ali Imran (3): 14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Qs. Ali Imran (3): 14

Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada harta melampai batas melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasulnya[20].

Kata yang dipakai dalam Qs. Al-Taubah (9) 24, Ahabba (lebih kamu cintai), mengisyaratkan memang kecintaan kepada sesuatudiukur ketika seseorang dihadapkan kepada duahal atau lebi yang harus dipilih salah satunya, dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salahsatunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat mmenjatuhkan pilihan.

Al-Muthaffifin (83): 1-3: Ancaman Terhadap Orang-Orang Yang Curang Dalam Menakar Dan Menimbang.

“(1)Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”Qs. Al-Muthaffifin (83): 1-3

Kata Wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi Al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalm arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kata al-Muthaffifin terambil dari kata thaff /meloncati. Bisa juga kata tersebut teambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalm penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan. Atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh.

Kecelakaan, kekurangan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah yang orang-orang yqang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini akan sangat jelas apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar amal –amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuanginya itu, diberikan diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangan mya itu. Ayat yang ke 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedangkan ayat 3 menyebut mengukur dan menimbang.

Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalampenimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukansaja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa dalam Islam manusia sangat di per hatikan dan dibimbing dalam perdagangan, digambarkan betapa buruknya orang yang melakukan kecurangan dalam perdagangan, tidak saja manusia merugi secara materi dan hubungan sosialnya, tetapi juga merugi sampai di akhirat kelak. Akan tetapi sangat beruntung orang yang selalu memperhatikan dan mengikuti apa yang telah menjadi peraturan (hukum) secara syari’ah dalam perdagangannya, tidak saja keuntungan duniawi yang dia dapatkan, tetapi juga keuntungan di akhirat nanti juga akan dinikmatinya

Semoga bahasan yang sangat sederhana ini bermanfaat, terutama bagi penulis. Tentu dalam yang sangat sederhana ini ada kekeliruan dan kekurangan, oleh sebab itu kritikan dan sumbangan pikiran sangat diperlukan demi bertambahnya wawasan.



Referensi

Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,( Pola pembinaan Hidup dalam Ekonomi). -Cet II- cv. Diponegoro, Bandung, 1992.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5. PT.pustak panjimas, Jakarta ,1984.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan kesan dan keserasian, cet II.

Rosalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Ssyari’ah, cet I-Padang: Hayfa Press, 2005.

SAyyid Sabiq. Fikih Sunnah, trj.Kamaluddin A, Marzuki dkk.-Cet,8- Bandung: al-ma’rif, 1996.