Takdir kami dalam sistem sunnah mu ya allah

24 Agustus 2008

Generasi Muda dan Kemerdekaan Bangsa

Oleh: Nofriyaldi

Generasi muda merupakan penentu arah jalannya sebuah bangsa serta baik buruknya bangsa itu sendiri. Perubahan kearah yang positif, kemajuan pemikiran, pencapaian tujuan yang dicita-citakan setiap generasi sebuah bangsa merupakan tanggung jawab penuh yang harus diemban setiap generasi muda. Dibutuhkan perhatian khusus terhadap pemuda dalam menyiapkan sumber daya manusia potensial untuk menjalankan amanah besar bangsa ini.

Kemerdekaan bangsa indonesia dari kebiadaban penjajah tidaklah didapat secara gratis begitu saja, melainkan kerja keras para pemuda tempoe doloe yang kita kenal hari ini dengan pejuang bangsa, baik yang berada di dalam maupun luar negeri.

Dengan semangat cinta tanah air atau nasionalisme yang tinggi mereka telah memaksa para penjajah biadab harus angkat kaki dari tanah katulistiwa yang kaya raya ini. Sudah dikenal baik para ahli sejarah bahwa yang melumpuhkan otak penjajah untuk terus menaungi negeri kaya ini bukan senjata pemusnah masal yang dihadapkan moncongnya ke negeri kelahiran mereka, tetapi kecerdasan yang dimiliki sebagian pemuda bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan lainnya yang nama harum mereka kebanyakan sudah ditelan ketidak mau tahuan anak bangsa ini. Nasionalisme yang terus menggebu disetiap dada pemuda indonesia pada hari itu mampu meledakkan jantung para tentara biadap bersenapan tajam serta pemimpin-pemimpin mereka yang bermental busuk.

Perangpun terjadi dimana-mana, meriam berdentuman menyisiri detak jantung rakyat jelata, peluru tajam berterbangan seperti lebah hijrah di bawah terik matahari yang panas, mencari sasaran menembus daging, mematahkan tulang para pemberontak pembebasan negeri dari keserakahan manusia. Menghancurkan kepala berlilit merah putih hingga benaknya meleleh seperti timah dipanaskan. Darah sucipun menetes menjadi saksi dan mengharumi tanah bangsa ini, Mengalir dari luka-luka tubuh kesateia gagah berani kebanggaan negeri yang cinta dan semangatnya tidak akan mampu dilumpuhkan bom atom hirosima naga saki.

Sudah 63 th negeri ini terlepas dari kebiadaban para penjajah. Tinta emas yang ditorehkan pejuang bangsa menjadi karya besar mereka untuk negeri ini, kebanyakan mereka menggantinya dengan nyawa sendiri, sehingga tidak merasakan bagaimana rasanya hidup ditanah merdeka, menghirup udara pagi dibawah teras rumah ditemani secangkir teh sambil memandangi anak cucu tersayang bermain lucu-lucuan dihadapannya. Mungkin itu lebih baik bagi mereka, karena banyak pejuang bangsa yang masih hidup sampai hari ini merasa dijajah lebih kejam dari penjajah tempo dulu.

Sampai hari ini pejuang yang sudah terlebih dahulu menemui ajalnya tidak pernah terdengar teriakan dari tanah pekuburan mereka terlintas ditelinga pemuda hari ini meminta ganti rugi atas jasa-jasa mereka sedikit pun. Memang jasa-jasanya tidak akan tergantikan oleh siapapun dan dengan apapun.

Mungkin mereka sedang menikmati indahnya pelayanan syurga di bawahnya mengalir sungai-sungai yang tiada banding, atau bidadari sangat cantik sedang memeluk erat tubuh perkasa mereka pelepas letih habis berjuang membebaskan negeri dari keserakahan penjajah, sebagai ganjaran atas jihad yang mereka lakukan selama ini, mungkin juga mereka sedang terpana melihat keMaha Agung-an Tuhan, yang selama ini menjadi motor penggerak sendi-sendi mereka dalam perjuangan.

Atau mereka sedang menangisi dan meratapi kenyataan yang ada. Bukan kesakitan karena tulang dan daging mereka hancur dihantam peluru, atau dijepit tanah pekuburan karena dosa, tetapi karena negeri mereka dikhianati oleh anak cucu negerinya sendiri yang bermental busuk lebih busuk dari penjajah yang mereka perangi selama ini. Itulah para koruptor berbadan manusia, berotak tikus, berhati setan, dan bermental sangat lemah yang sangat memalukan.

Sesekali mereka (pejuang) mungkin melebarkan senyum melihat anak cucu kebanggaan mereka yang telah mewarsi keberanian seperti mereka sedang berusaha mencari solusi memberantas hama bangsa ini, walaupu tidak jarang nasib mereka tidak lebih buruk dari kakeknya (pejuang) yang sudah dulu mati.

Hari ini rakyat indonesia banyak terpenjara dibalik jeruji kebodohan berantai kemiskinan. Itulah nasib rakyat jelata yang terus dipaksa untuk hidup dalam kebimbangan, bagi yang melawan akan disiksa oleh penyakit gila yang menyedikan, mereka tidak hanya dibunuh secara perlahan tetapi mereka sudah mati sebelum nyawa mereka meregang.

Sudah saatnya pemuda hari ini mengerahkan segenap kemampuan berjuang melepas rantai yang membelenggu kemajuan bangsa. Dengan cara meningkatkan sumber daya manusia serta peran kita sebagai generasi muda bangsa indonesia. Dengan semangat nasionalisme yang ruhnya jihad Fiisabilillah mencoba keluar dari penjara kebodohan dan melepas rantai kemiskinan yang selama ini sudah menyiksa bangsa. Mari kita ajarkan kepada HPKI (Himpunan Para Koruptor Indonesia) bagaimana cara malu pada diri sendiri, kepada pahlawan bangsa, kepada negeri ini, terutama sekali kepada Tuhan yang maha kuasa, agar mereka sadar ternyata mereka tidak lebih mulia dari cacing gila di tong sampah.

Orang pintar bukanlah orang yang banyak tau, orang pintar adalah orang yang banyak Iqra’ (membaca / belajar). Sedangkan orang bodoh bukan orang yang sedikit tau, tetapi orang yang sedikit Iqra’ (membaca / belajarnya). Ayat Al-Qur’an pertama turun berbunyi perintah Iqra’..., orang banyak tau bisa jadi karena sudah tua umurnya , sudah banyak pengalamannya (karena tuanya). Begitu juga orang yang sedikit tau boleh jadi karena masih kecil. Seseorang disebut pintar tidak bisa diukur dari banyak atau sedikit pengetahuannya, tetapi seberapa banyak dia mempergunakan waktu untuk Iqra’ (membaca / belajar).

Pemuda bangsa hari ini harus berusaha memilih takdirnya sebagai orang pintar. Kalau tidak, dia hanya mampu seperti burung beo cantik sedang terikat di depan rumah majikan. Mata menerawang kesana kemari melihat dunia yang sangat luas, tetapi tidak punya daya untuk menaklukkan. Satu kelebihannya apabila sang majikan ngomong dia ikut ngomong seperti majikan, perbedaannya dia terlalu tolol untuk mengerti apa yang dia omongi.

Sudah saatnya kita bangkit mengikuti jejak pahlawan bangsa, mencontoh semangat jihadnya, meroboh tembok derita bangsa yang menyesakkan. Merebut kemerdekaan dari jajahan politik, ekonomi, pemikiran budaya bangsa lain. Sudah saatanya juga kita menghukum pengkhianat bangsa seperti orang-orang yang kita sebut HPKI (Himpunan Para Koruptor Indonesia). Wallahu’alam.

18 Agustus 2008

Ayat-Ayat Tentang Perdagangan

Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang menunjang, topang menopang,dan bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermu’amalah untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Kenyataan ini tak dapat dipungkiri yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi, tidak ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan cara memencilkan diri, niscaya kan terkena sangsi berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan, dan malapetaka dalam kehidupan ini[1].

Bentuk-bentuk perdagangan/perniagaan seperti jual beli, tukar menukar [barter], Gaji-menggaji, Sewa-menyewa, Impor ekspor, Upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda[2].

Penjelasan

1. Larangan Makan Harta Dengan Cara Batil

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS. An-Nisa’:29

Batil artinya menurut jalan yang salah[3]. Bentuk-bentuk harta yang batil itu dalam perdagangan adalah, seperti:

  1. Korupsi
  2. Tidak sesuainya mutu barang dagangan dengan harga penjualan yang tinggi, sehingga merugikan sipembeli
  3. Mengurangi mutu barang dengan harga barang yang mutunya bagus.
  4. Dll

Dalam lanjutan ayat “dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri atau jiwa dengan diri atau jiwa, tidak dapat dipisahkan, karna orang yang mencari harta adalah untuk melanjutkan hidupnya didunia ini. Oleh karena itu, selain kemakmuran harta benda hendaklah terdapat kemakmuran atau ketenangan jiwa. Di samping menjauhkan diri dari memakan harta dengan cara batil, janganlah terjadi pembunuhan, tegasnya jangan membunuh karna sesuap nasi[4].

Sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu, karena itulah Allah menyuruh mengatur dalam mencari harta dengan cara baik[5], dan Allah melarang membunuh diri kamu baik orang lain apalagi diri kamu sendiri. Apabila kamu tidak mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan Allah, masyarakatmu akan kacau, rampok merampok, serta kecurangan akan terjadi. Tuhan sayang kepadamu, tuhan tidak senang kamu kacau[6].

2. Orang-Orang Yang Dapat Pancaran Nur Ilahi QS. An-Nur (24):37

”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. QS. An-Nur(24):37

Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu[7].disini dalam konteks tijarah dan buyu’.

Thabatthaba’I berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’I maka iya berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungasn ril yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan guna mencari keuntungan.

Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.

Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah).disaat-saat mereka melakukan jual beli dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat tertentu itu[8].

3. Hukum Riba. Al-Baqarah (2):275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”. Al-Baqarah (2):275

Surat Al-Baqarah 275 adalah surat yang terakhir yang diterima Rasulullah SAW yang berbicara tentang riba yang dimulai oleh ayat 275. umar ibn Khatab berkata, bahwa Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas[9]. Riba menurut bahasa berarti al-Ziyaadadah (bertambah). Roza linda M.Ag dalam bukunya “Fiqh Mu’amalah dan aplikasinya dalam perbankan syari’ah” menyimpulkan bahwa riba merupakan kelebihan/Tambahan pembayaran tanpa ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad[10].

Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syatan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya.

Menurut banyak ulama hukuman ini terjadi dikemudian hari, yakni mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah mana yang harus mereka tuju.

Sebenarnya _kata Quraish Shihab­_ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Orang tersebut_yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun tidak tahu arah[11].

4. Kesaksian dalam Mu’amalah QS. Al-Baqarah(2): 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282

Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang mengumpulkan nya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya[12].

  1. Perintah menulis

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283[13].

Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adal, artinya tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3. Jujur[14].

b. Saksi

Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut[15].

Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban[16]. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup,dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu[17].

  1. Gada

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Al-Baqarah(2): 283

Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai

Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa mengambilsebagian( manfaat) barangnya itu[18].

Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang[19].

4. Al-Taubah (9) 24: Larangan Mencintai Harta Melebihi Dari Pada Mencintai Allh Dan Rasulnya

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Qs. Al-Taubah (9): 24)

Ayat ini bukan berarti melarang mencintai harta benda karna ini bertentangan dengan naluri manusia sebagaimana yang telah dijelaskan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an antara lain, Qs. Ali Imran (3): 14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Qs. Ali Imran (3): 14

Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada harta melampai batas melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasulnya[20].

Kata yang dipakai dalam Qs. Al-Taubah (9) 24, Ahabba (lebih kamu cintai), mengisyaratkan memang kecintaan kepada sesuatudiukur ketika seseorang dihadapkan kepada duahal atau lebi yang harus dipilih salah satunya, dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salahsatunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat mmenjatuhkan pilihan.

Al-Muthaffifin (83): 1-3: Ancaman Terhadap Orang-Orang Yang Curang Dalam Menakar Dan Menimbang.

“(1)Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”Qs. Al-Muthaffifin (83): 1-3

Kata Wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi Al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalm arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kata al-Muthaffifin terambil dari kata thaff /meloncati. Bisa juga kata tersebut teambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalm penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan. Atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh.

Kecelakaan, kekurangan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah yang orang-orang yqang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini akan sangat jelas apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar amal –amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuanginya itu, diberikan diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangan mya itu. Ayat yang ke 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedangkan ayat 3 menyebut mengukur dan menimbang.

Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalampenimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukansaja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa dalam Islam manusia sangat di per hatikan dan dibimbing dalam perdagangan, digambarkan betapa buruknya orang yang melakukan kecurangan dalam perdagangan, tidak saja manusia merugi secara materi dan hubungan sosialnya, tetapi juga merugi sampai di akhirat kelak. Akan tetapi sangat beruntung orang yang selalu memperhatikan dan mengikuti apa yang telah menjadi peraturan (hukum) secara syari’ah dalam perdagangannya, tidak saja keuntungan duniawi yang dia dapatkan, tetapi juga keuntungan di akhirat nanti juga akan dinikmatinya

Semoga bahasan yang sangat sederhana ini bermanfaat, terutama bagi penulis. Tentu dalam yang sangat sederhana ini ada kekeliruan dan kekurangan, oleh sebab itu kritikan dan sumbangan pikiran sangat diperlukan demi bertambahnya wawasan.



Referensi

Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,( Pola pembinaan Hidup dalam Ekonomi). -Cet II- cv. Diponegoro, Bandung, 1992.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5. PT.pustak panjimas, Jakarta ,1984.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan kesan dan keserasian, cet II.

Rosalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Ssyari’ah, cet I-Padang: Hayfa Press, 2005.

SAyyid Sabiq. Fikih Sunnah, trj.Kamaluddin A, Marzuki dkk.-Cet,8- Bandung: al-ma’rif, 1996.

KEwajiban BElajar MEngajar

Pendahuluan

Manusia diciptakan Allah dengan berbagai potensi yang dimilikinya, tentu dengan alasan yang sangat tepat potensi itu harus ada pada diri manusia, sebagaimana sudah diketahui manusia diciptakan untuk menjadi khalifatullah fil ardh. Potensi yang dimiliki manusia tidak ada artinya kalau bukan karena bimbingan dan hidayah Allah yang terhidang di ala m ini. Namun manusia tidak pula begitu saja mampu menelan mentah-mentah apa yang dia lihat, kecuali belajar dengan megerahkan segala tenaga yang dia miliki untuk dapat memahami tanda-tanda yang ada dalam kehidupannya. Tidak hanya itu, manusia setelah mengetahui wajib mengajarkan ilmunya agar fungsi kekhalifahan manusia tidak terhenti pada satu masa saja, Dan semua itu sudah diatur oleh Allah SWT. Dalam makalah yang sangat sederhana ini penulis mencoba menjelaskan tentang Kewajiban Belajar Mengajar. Semoga bermanfaat.

  1. Kewajiban belajar
  1. Prinsip dasar menuntut ilmu (Belajar)

Menuntukt ilmu merupakan kewajiban dan kebutuhan manusia. Tanpa ilmu manusia akan tersesat ddari jalan kebenaran. Tanpa ilmu manusian tidak akan mampu merubah suatu peradaban. Bahkan dirinyapun tidak bisa menjadi lebih baik.

Karena menuntut ilmu merupakan sesuatu yang sangat penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sangat tepat wahyu pertama turun kepada nabi SAW mengisyaratkan tentang perintah membaca (menuntut ilmu).

Kata Iqra’ terambil dari kata kerja kara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila kita merangkai huruf kemudian mengucapkan rangkaian tersebut maka kita sudah menghimpunnya yakni membacanya[1].Dengan demikinan, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menela’ah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan lain sebagainya[2].

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa ketika nabi SAW diperintah untuk membaca Iqra’ oleh malaikat Jibril, Nabi SAW bertanya ma Aqra’ ?tetapi malaikat jibril tidak menjawabnya. Ada yang berpendapat Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi rabbika, dalam arti bermanfaat untuk manusia dan dirinya dunia dan Akhirat. Demikian Allah memberikan ransangan kepada manusia, agar senantiasa mengerahkan segala daya dan upayanya dalam menuntut ilmu.

Syekh “Abdul Halim MAhmud (mantan pemimpin tinggi Al-Azhar Mesir) serbagaimana dikutip Quraish Shihab dia menulis dalam bukunya al-Qur’an Fi Syahr al-Qur’an: “ dengan kalimat iqra’ bismi Rabbika, al-Qur’an tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tetapi membaca adalah lambing dari segala apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan semangatnya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu, bergeraklah demi Tuhanmu, bekerjalah demi Tuhanmu” . demikian juga ketika kita berhenti melakukan aktifitas hendaklah didasari pada Bismi rabbika sehingga akhirnya ayat itu berarti “jadilah seluruh kehidupanmu, Wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, kesemuanya demi karena Allah semata[3].

Dalam surat Al-alaq Allah mengisyaratkan bahwa dia adalah guru pertama bagi manusia. Dapat kita kutip salah satu ayatnya yang ke 5.

Segala potensi yang dimiliki manusia sebagai jalan untuk mengetahui sesuatu baik berupa isyarat yang jelas (tampak) maupun yang tersembunyi yang hanya mampu ditangkap dengan indra yang abstrak merupakan cara Allah mendidik manusia.

Quruaish Shihab mengatakan, Al-Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa qalbu menjadikan manusia seprti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri[4].

Jelaslah prinsip dasar manusia menuntut ilmu (Belajar) tidak luput dari unsure wahyu ilahiyah, maka tidak pantas manusia sebagai penuntut ilmu melepaskan diri dari wahyu Ilahi Sebagai ayat-ayat Qauliyah. Karena petunjuk yang tidak akan ditemui di alam (ayat-ayat kauniyah Allah) hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

  1. ayat- ayat Qauniyah sebagai sumber ilmu

Qs. Ali-Imran (3): 190-191.

Ayat ini diturunkan untuk menerangi akal dan hati manusia dengan dalil-dalil tentang keesaan Allah dan kekuasaan Allah. Sebagai ikatan dalam sebuah tuntunan yang kuat tentang fakta Science yang dicapai oleh para ahli, melalui obserfasi, eksperimen, dan penyimpulan. Fakta tersebut dapat dijadikan jalan untuk merenungkan kemaha agungan Allah SWT, merenungkan tanda-tanda kebesarannya. Ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca hari ini tidak sedikitpun berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca pada zaman Rasullullah SAW dahulu, tetapi tidak pernah berbenturan dengan ilmu pengetahuan (sains) hari ini, dan sampai akhir masa.

  1. Kedudukan Orang Yang Mengajarkan Ilmu.

Ayat ini turun ketika semangat kaum muslimin untuk jihad kemedan pertempuran mencapai puncaknya, semua kalangan umat islam berbondong-bondong untuk ikut berjihad dimedan perang. Sehingga tidak ada lagi orang yang tinggal untuk memperdalam ilmu keislaman. Yang dilakukan kaum muslimin sangat beralasan, karena begitu mulianya orang yang berjihad ke medan pertempuran melawan kaum kafir, apalagi mati sebagai syuhada’.

Qs. 3: 169

Inilah yang menjadi motifasi kaum muslimin. Orang yang syahid dianggap tidak mati, karma ia akan mendapat kemenangan disisi Allah SWT.

Jihad terbagi kedalam beberapa macam, diantaranya adalah jihad menghadap orang-orang kafir, munafiq, setan dan hawa nafsu. Selain itu memberantas kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan lain-lain. Adalah jihad yang tidak kalah pentingnya dari jihad mengangkat senjata melawan orang kafir. Ilmuan berjihad dengan mengajarkan ilmunya, guru dengan pendidikannya, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya, demikian seterusnya. Skhusus untuk pengajar, ayat diatas telah memberikan motifasi kepada kita bahwa orang yang berjihad dimedan juang dengan orang yang pergi belajar kemudian mengajarkan ilmunya memiliki kedudukan yang sama disisi Allah SWT.

Jadi kebaikan menuntut ilmu dan mengajarkannya sama pahalanya disis Allah dengan jihad. Barang siapa yang memberi contoh kebaikan , kemudian kebaikan itu dicontoh oleh orang lain, maka dia akan mendapat kebaikan yang sama dengan orang yang melakukan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya, begitu juga sebaliknya. Demikian ungkapan yang sementara dianggap dari Rasulullah SAW.

PENUTUP

  1. kesimpulan
  1. belajar mengajar adalah suatu keharusann dilakukan oleh seorang muslim dalam rangkan memanfaatkan potensi akal yang diberikan Allah SWT
  2. mengkaji dan mendalami ayat-ayat Allah Baik Qauliyah maupun Qaauniayah, akan semakin membuka peluan terciptanya ilmu-ilmu baru dan peradaban baru yang lebih baik.
  3. Orang yang menuntut ilmu lalu mengajarkannya memiliki kedudukan yang sama dengan kebaikan orang yang jihad di medan perang melawan orang-orang kafir.
  1. kritik dan saran

karena tulisan ini dibuat dalam keadaan penulis yang sangat terbatas ilmu dan pemahamannya, sudilah kiranya bagi siapa saja yang membacanya untuk memberikan masukan dan saran demi tercapainya kesempurnaan pemahaman kita.

_ Makalah ini pernah diprensentasikan dalam mata kuliah tafsir ayat pendidikan jurusan tafsir hadits, fakultas ushuluddin, IAIN IB_


[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: lentera Hati, 2002. Volume 15) hal 392

[2] Ibid hal 393

[3] Ibid hal 394

[4] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Bandung . Mizan, hal 7

17 Agustus 2008

Subjek Pendidikan

  1. Pendahuluan

Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari sang pendidik (subjek pendidikan). Berhasil atau gagalnya pendidikan sangat ditentukan oleh subjek pendidiakan tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan dan berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik. Agar hasil yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang subjek pendidikan. Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit tentang Subjek pendidikan ini dengan judul Subjek Pendidikan dengan harapan dapat mengerti dengan apa yang dimaksud sang pendidik. Semoga bermanfaat.

  1. Subjek pendidikan

Subjek pendidikan sangat berpengaruh sekali kepada keberhasilan atau gagalnya pendidikan[1]. Disebabkan banyak hal yang melatarbelakangi sipendidik.

Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan.

Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah Orang tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan lingkungan masyarakat, sedangkan pendidikan pertama ( tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama ini adalah rumah tangga (orang tua). Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah yang kedua adalah Rasulullah. Sebagaimana dapat kita lihat dalam surat al-‘Alaq (96) 4-5[2].

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam surat al-Baqarah (2): 31

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Dalam Surat al-Rahman, ayat 1-4

Artinya: (tuhan) yang Maha pemurah, Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.

Untuk mendapatkan keterangan yang jelas tentang subjek pendidikan kita harus melihatnya dari definisi yang ada.

  1. pengertian pedidik

Secara etimologi pendidik adalah orang yang memberikan bimbingan. Penegrtian ini memberi kesan bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Kata tersebut seperti “teacher” artinya guru yang mengajar dirumah.

Sementara itu bila kita merujuk kepada hasil konferensi internasional islam I dimekah 1977, pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian sekali gus yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib. Dapat kita ambil pemahaman, pengertian pendidik dalam islam adalah Murabbi, Mu’allim dan Mu’addib.

Pengertian mu’allim mengandung arti konsekuensi bahwa pendidik harus mu’allimun yakni menguasai ilmu, memiliki kreatifitas dan komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu.Sedangkan konsep ta’dib mencakup pengertian integrasi antara ilmu dengan amal sekali gus, karena apabila dimensi amal hilang dalam kehidupan seorang pendidik, maka citra dan esensi pendidikan islam itu akan hilang.

Selanjutnya dalam bahasa Arab dijumpai kata ustaz, Mudarris, Mu’allim, dan mu’addib. Secara keseluruhan kata-kata tersebut terhimpun dalam satu kata pendidik karena semua kata tersebut mengacu kepada seorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman kepada orang lain.

Secara terminologi terdapat beberapa pendapat pakar pendidikan tentang pengertian pendidik, antara lain:

  1. Ahmad D. Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik.
  2. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidik dalam islam sama dengan teori di barat yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap peserta didik.
  3. Muri yusuf, mengemukakan bahwa pendidik adalah indifidu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
  1. Pendidik

Orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua:

    1. orang tua

orang tua disebut pendidik kodrati, karena mereka mempunyai hubungan darah dengan anak. Disebut juga orang yang menjadi pendidik pertama. Sebab secarea alami anak padan masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah orang tuanya. Kalau orang tua sudah meninggal maka tugas ini digantikan oleh orang yang bertanggung jawab mendidik anak dalam keluarga, dikenal juga dengan istilah wali.

    1. orang lain seperti Guru, Dosen, Pelatih, Pembimbing, juga masyarakat.

Dalam alQur’an Allah mencontohkan bagaimana nabi9 Isa belajar kepada khaidir. Sebagimana terdapat dalam surat al-Kahfi(18) ayat 66

Artinya: Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

Sejalan dengan tuntunan perkembangan manusia, orang tua dalam situasi tertentu atau sehubungan dengan bidang kajian tertentu tidak dapat memenuhi semua kebutuhan pendidikan anaknya. Untuk itu mereka melimpahkan tanggung jawab mereka kepada orang lain yang mereka anggap pantas dan professional. Pelimpahan itu bukan berarti tanggung jawab orang tua dalam pendidikan tidak ada lagi, justru disini orang tua benar-benar harus punya kemampuan dalam menyikapi perkembangan sianak. Dikarenakan banyaknya mereka temui yang akan mempengaruhi perkembangan moral, emosiona, dan kematangan berfikir mereka (anak).

  1. Syarat pendidik
    1. Syarat fisik

Seorang pendidik harus berbadan sehat, tidak memiliki penyakit yang mungkin akan mengganggu pekerjaannya. Seperti penyakit menular.

    1. syarat psikis

seorang pendidik harus sehat jiwanya (rohani)nya, tidak mengalami gangguan jiwa, stabil emosi, sabar, ramah , penyayang, berani atas kebenaran, mempunyai jiwa pengabdian, bertanggung jawab dan memiliki sifat-sifat positif yang lainnya.

    1. syarat keagamaan

seorang pendidik harus seorang yang beragama dan mengamalkan agamanya. Disamping itu dia menjadi figur dalam segala aspek kepribadiannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal (16): 43-44

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab] jika kamu tidak mengetahui. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran] dan supaya mereka memikirkan.

    1. Syarat teknis

Seorang pendidik harus memiliki ijazah sebagai bukti kelayakan pendidik menjadi seorang guru.

    1. Syarat Pedagogis

Seorang pendidik harus menguasai metode pengajaran, menguasai materi yang akan diajarkan, dan ilmu lain yang mendukung ilmu yang dia ajarkan.

    1. syarat administrative

syarat pendidik harus diangkat oleh pemerintah, yayasan atau lembaga lain yang berwenang mengangkat guru. Sehingga ia diberi tugas untuk mendidik dan mengajar. Dan dia benar-benar mengabdikan dirinya sepenuh hati dalam provesinya sebagai gurun.

  1. Penutup

1. kesimpulan

Subjek pendidikan dalam islam benar-benar diperhatikan keberadaannya. Terlihat betapa selektifnya islam dalam menentukan mana yang pantas dikatakan sebagai pendidik dan mana yang tidak.

Subjek pendidikan atau pendidik yang pertama adalah orang yang ada dirumah tangga (orang tua atau Wali), yang kedua adalah diluar rumah seperti guru, dosen, masyarakat dan lain-lain. Untuk mencapai hasil yang maksimal, sipendidik ahrus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.

2. Saran

Demikian makalah yang sangat sederhana ini. Karena keterbatasan penulis dibidang ini, tentu pembaca akan menemukan kesalahan disana sini, untuk itu besar harapan penulis kesediaan pembaca memberikan saran dan kritikan membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2004)

Al-Qur’an Terjemahan

Hamka, Tafsir Al-Azhar2006

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-MAraghi. Terrj. (Semarang: toha Putra)

Hasan LAnggulung, Asas-Asas Pendidikan Aslam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992)



[1] Hasan LAnggulung, Asas-Asas Pendidikan Islam. ( Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992) hal..

[2] Penjelasan selanjutnya lihat Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004) h. 65