Takdir kami dalam sistem sunnah mu ya allah

18 Agustus 2008

Ayat-Ayat Tentang Perdagangan

Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang menunjang, topang menopang,dan bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermu’amalah untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Kenyataan ini tak dapat dipungkiri yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi, tidak ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan cara memencilkan diri, niscaya kan terkena sangsi berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan, dan malapetaka dalam kehidupan ini[1].

Bentuk-bentuk perdagangan/perniagaan seperti jual beli, tukar menukar [barter], Gaji-menggaji, Sewa-menyewa, Impor ekspor, Upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda[2].

Penjelasan

1. Larangan Makan Harta Dengan Cara Batil

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS. An-Nisa’:29

Batil artinya menurut jalan yang salah[3]. Bentuk-bentuk harta yang batil itu dalam perdagangan adalah, seperti:

  1. Korupsi
  2. Tidak sesuainya mutu barang dagangan dengan harga penjualan yang tinggi, sehingga merugikan sipembeli
  3. Mengurangi mutu barang dengan harga barang yang mutunya bagus.
  4. Dll

Dalam lanjutan ayat “dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri atau jiwa dengan diri atau jiwa, tidak dapat dipisahkan, karna orang yang mencari harta adalah untuk melanjutkan hidupnya didunia ini. Oleh karena itu, selain kemakmuran harta benda hendaklah terdapat kemakmuran atau ketenangan jiwa. Di samping menjauhkan diri dari memakan harta dengan cara batil, janganlah terjadi pembunuhan, tegasnya jangan membunuh karna sesuap nasi[4].

Sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu, karena itulah Allah menyuruh mengatur dalam mencari harta dengan cara baik[5], dan Allah melarang membunuh diri kamu baik orang lain apalagi diri kamu sendiri. Apabila kamu tidak mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan Allah, masyarakatmu akan kacau, rampok merampok, serta kecurangan akan terjadi. Tuhan sayang kepadamu, tuhan tidak senang kamu kacau[6].

2. Orang-Orang Yang Dapat Pancaran Nur Ilahi QS. An-Nur (24):37

”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. QS. An-Nur(24):37

Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu[7].disini dalam konteks tijarah dan buyu’.

Thabatthaba’I berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’I maka iya berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungasn ril yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan guna mencari keuntungan.

Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.

Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah).disaat-saat mereka melakukan jual beli dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat tertentu itu[8].

3. Hukum Riba. Al-Baqarah (2):275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”. Al-Baqarah (2):275

Surat Al-Baqarah 275 adalah surat yang terakhir yang diterima Rasulullah SAW yang berbicara tentang riba yang dimulai oleh ayat 275. umar ibn Khatab berkata, bahwa Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas[9]. Riba menurut bahasa berarti al-Ziyaadadah (bertambah). Roza linda M.Ag dalam bukunya “Fiqh Mu’amalah dan aplikasinya dalam perbankan syari’ah” menyimpulkan bahwa riba merupakan kelebihan/Tambahan pembayaran tanpa ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad[10].

Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syatan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya.

Menurut banyak ulama hukuman ini terjadi dikemudian hari, yakni mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah mana yang harus mereka tuju.

Sebenarnya _kata Quraish Shihab­_ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Orang tersebut_yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun tidak tahu arah[11].

4. Kesaksian dalam Mu’amalah QS. Al-Baqarah(2): 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282

Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang mengumpulkan nya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya[12].

  1. Perintah menulis

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283[13].

Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adal, artinya tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3. Jujur[14].

b. Saksi

Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut[15].

Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban[16]. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup,dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu[17].

  1. Gada

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Al-Baqarah(2): 283

Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai

Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa mengambilsebagian( manfaat) barangnya itu[18].

Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang[19].

4. Al-Taubah (9) 24: Larangan Mencintai Harta Melebihi Dari Pada Mencintai Allh Dan Rasulnya

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Qs. Al-Taubah (9): 24)

Ayat ini bukan berarti melarang mencintai harta benda karna ini bertentangan dengan naluri manusia sebagaimana yang telah dijelaskan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an antara lain, Qs. Ali Imran (3): 14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Qs. Ali Imran (3): 14

Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada harta melampai batas melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasulnya[20].

Kata yang dipakai dalam Qs. Al-Taubah (9) 24, Ahabba (lebih kamu cintai), mengisyaratkan memang kecintaan kepada sesuatudiukur ketika seseorang dihadapkan kepada duahal atau lebi yang harus dipilih salah satunya, dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salahsatunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat mmenjatuhkan pilihan.

Al-Muthaffifin (83): 1-3: Ancaman Terhadap Orang-Orang Yang Curang Dalam Menakar Dan Menimbang.

“(1)Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”Qs. Al-Muthaffifin (83): 1-3

Kata Wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi Al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalm arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kata al-Muthaffifin terambil dari kata thaff /meloncati. Bisa juga kata tersebut teambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalm penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan. Atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh.

Kecelakaan, kekurangan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah yang orang-orang yqang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini akan sangat jelas apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar amal –amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuanginya itu, diberikan diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangan mya itu. Ayat yang ke 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedangkan ayat 3 menyebut mengukur dan menimbang.

Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalampenimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukansaja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa dalam Islam manusia sangat di per hatikan dan dibimbing dalam perdagangan, digambarkan betapa buruknya orang yang melakukan kecurangan dalam perdagangan, tidak saja manusia merugi secara materi dan hubungan sosialnya, tetapi juga merugi sampai di akhirat kelak. Akan tetapi sangat beruntung orang yang selalu memperhatikan dan mengikuti apa yang telah menjadi peraturan (hukum) secara syari’ah dalam perdagangannya, tidak saja keuntungan duniawi yang dia dapatkan, tetapi juga keuntungan di akhirat nanti juga akan dinikmatinya

Semoga bahasan yang sangat sederhana ini bermanfaat, terutama bagi penulis. Tentu dalam yang sangat sederhana ini ada kekeliruan dan kekurangan, oleh sebab itu kritikan dan sumbangan pikiran sangat diperlukan demi bertambahnya wawasan.



Referensi

Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam,( Pola pembinaan Hidup dalam Ekonomi). -Cet II- cv. Diponegoro, Bandung, 1992.

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz 5. PT.pustak panjimas, Jakarta ,1984.

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan kesan dan keserasian, cet II.

Rosalinda, Fiqh Mu’amalah dan Aplikasinya Dalam Perbankan Ssyari’ah, cet I-Padang: Hayfa Press, 2005.

SAyyid Sabiq. Fikih Sunnah, trj.Kamaluddin A, Marzuki dkk.-Cet,8- Bandung: al-ma’rif, 1996.

Tidak ada komentar: